BANDUNG, unpas.ac.id – “Mengabdi membuat kita bersyukur dan lebih banyak belajar”
Demikian kiranya yang dirasakan Novadila Ramadhan, mahasiswi tingkat akhir prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan usai menuntaskan program volunternya di Pulau Sebatik.
Ia bersama 17 volunter dari berbagai disiplin ilmu menjadi delegasi Indonesia Youth Action (IYA) untuk membantu menggalakkan sektor pendidikan, lingkungan sosial, kesehatan, serta pariwisata dan ekonomi kreatif di Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Ada yang menarik dari program pengabdiannya. Dila, sapaan akrabnya, semula berpikir bahwa Pulau Sebatik berada di kawasan terpencil dan tertinggal. Ternyata, kondisi jalan dan pelabuhannya justru cukup tertata, jauh di luar ekspektasinya. Bahkan ada beberapa desa yang menjadi pusat produktivitas masyarakat, seperti Desa Sungai Nyamuk dan Desa Aji Kuning.
“Ini kali pertama Dila ikut kegiatan volunter di luar pulau yang hanya butuh beberapa langkah untuk sampai ke negara tetangga, Malaysia. Dila merasa bersalah karena sempat berpikir kalau daerah perbatasan di Kalimantan identik dengan hutan. Tapi, kenyataannya enggak, kok. Cuma karena di perbatasan, jarak antar rumah penduduknya memang lumayan jauh,” katanya.
Menilik Pendidikan di Pulau Sebatik
Berdasarkan pengalaman pengabdiannya selama kurang lebih 10 hari, Dila melihat sekolah-sekolah di Pulau Sebatik begitu kekurangan SDM. Tak sedikit SDM yang rangkap jabatan. Menjadi kepala yayasan, kepala sekolah, hingga mengajar siswa di kelas.
“Di sana, mayoritas sekolahnya untuk jenjang pendidikan SD. SMP dan SMA hanya ada beberapa. Mayoritas, setelah lulus sekolah mereka bantu orang tuanya, atau kalau mau kuliah harus ke luar pulau. Soal fasilitas, jelas kurang banget dibanding sekolah-sekolah di Pulau Jawa,” lanjutnya.
Bangun Optimisme Lewat Program Kerja
Dari empat divisi yang ditawarkan, Dila memilih divisi pendidikan. Ia dan rekan-rekan volunternya menjalankan program kerja yang telah direncanakan sebelumnya. Untuk divisi pendidikan, program yang dijalankan berupa kelas inspirasi, literasi dan story telling, sekolah alam, kelas kreasi, pelatihan PBB dasar, dan senja mengaji.
“Di kelas inspirasi, kami menjelaskan tentang cita-cita, seberapa pentingnya seseorang punya impian, dan ragam profesi yang ada agar mereka mau bermimpi setinggi mungkin. Kami meyakinkan kalau mereka bisa jadi seperti apa yang diimpikan. Impian itu mereka tulis di kertas origami, lalu dikreasikan ke bermacam-macam bentuk ,” terangnya.
Ada juga program literasi dan story telling untuk melatih kepercayaan diri dan kemampuan public speaking supaya anak-anak berani berbicara di depan umum. Sementara pada program sekolah alam dan kelas kreasi, para volunter mengedukasi tentang jenis sampah organik dan anorganik, kemudian meminta anak-anak untuk mencari dan memilah keduanya.
“Untuk kelas kreasi, kami membuat baju tiedye bersama-sama. Kami membebaskan mereka untuk mengkreasikan sendiri motif dan warna yang diinginkan. Nah, karena bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, kami juga melaksanakan upacara dan mengajarkan PBB dasar kepada mereka,” ujar Dila.
Pada divisi lingkungan, ada program sosialisasi ecoenzym, yaitu pengelolaan sampah dari sisa buah dan sayur untuk dijadikan sabun cuci piring, pupuk, dan sebagainya. Juga, program ecobrick, papan champaign, dan gotong royong.
Divisi kesehatan juga melakukan penyuluhan stunting (kondisi di mana tinggi badan anak lebih pendek dari tinggi badan anak seusianya), sosialisasi pencegahan Covid-19, medical check up dan pemberian obat, serta sikat gigi bersama di Sekolah Tapal Batas.
Sedangkan divisi parekraf membuat video dokumenter kegiatan volunter di Pulau Sebati, branding UMKM, dan prakarya berbasis human capital, seperti pembuatan karya dari baju bekas yang memiliki nilai jual dan dapat diperjualbelikan.
Ubah Mindset dan Banyak Belajar
Di Pulau Sebatik, Dila mendapat banyak sekali pengalaman. Ia dan volunter lainnya bertemu dengan Forum Indonesia Muda (FIM), wadah bagi pemuda yang merantau ke luar daerah untuk kuliah dan kembali untuk membangun Pulau Sebatik.
“Mereka kembali ke Pulau Sebatik dengan membawa pengetahuan baru. Mereka sangat kritis, rasa ingin tahunya pun begitu tinggi demi mengubah Pulau Sebatik lebih baik lagi. Masyarakat di sana juga kooperatif, toleran, dan peduli banget sama kita, hal-hal itu yang bikin betah,” ungkapnya.
Dila mengaku, Pulau Sebatik membentuknya sebagai pribadi yang lebih pandai bersyukur, sabar, adaptif, dan saling menghargai. Pasalnya, masyarakat Pulau Sebatik mengandalkan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari karena akses air bersih jauh dan harganya mahal. Belum lagi jaringan yang sulit didapat.
“Kalau mau dapat jaringan, mereka harus naik dulu ke bukit. Untuk mengisi baterai HP juga mereka harus jalan dulu selama 1 jam ke pos perbatasan. Sumber listriknya masih mengandalkan sinar matahari, kalau di malam hari listriknya enggak kuat, ya gelap-gelapan,” katanya.
Ke depannya, Dila ingin berpartisipasi lagi di program serupa. Saat ini, Dila juga sedang menunggu seleksi akhir volunter Ekspedisi Jejak Budaya di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sebuah desa di wilayah Suku Tengger, tepatnya di dataran tinggi pegunungan Bromo-Tengger-Semeru. (Reta)*