BANDUNG, unpas.ac.id – Dalam peta industri musik Indonesia, Bandung mungkin menjadi salah satu barometer perkembangan yang menonjol. Sebab, banyak pegiat musik bermunculan di kota ini, begitu pula dengan rentetan karya populer yang jadi tolok ukur produktivitas para musisi.
Selain melahirkan musisi hebat, Bandung juga menjadi ‘produsen’ seniman tanah air yang berkecimpung di berbagai bidang, baik musik, seni peran, dan aktivitas kesenian lainnya. Bandung sudah sejak lama menghasilkan seniman yang tidak hanya tenar, namun berkualitas dan berbakat.
Geliat Bandung sebagai barometer musik dan gudangnya seniman disorot oleh Budayawan sekaligus Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Seni dan Sastra (FISS) Universitas Pasundan, Budi Setiawan G. P, S.S atau lebih akrab disapa Budi Dalton.
Dalam sejarahnya, Bandung pernah ditunjuk sebagai wilayah peralihan pasca Batavia dilanda bencana banjir. Kala itu, kanal-kanal ditumbuhi malaria dan menewaskan ribuan warga, sehingga mengharuskan Belanda untuk mencari wilayah baru yang lebih aman dan potensial.
“Inilah kenapa Bandung seolah identik dengan pusat seniman, karena dari kondisi geografisnya memang sudah layak dan mendukung. Kita tahu bahwa untuk belajar atau menciptakan sebuah karya, harus didukung atmosfer yang tenang,” katanya.
Dari situ, Bandung terbentuk sebagai tempat berkarya, membuat produk apapun, berdiskusi, hingga melakukan pergerakan. Bandung berkesan bagi siapapun yang datang. Bahkan, drummer Jelly Tobing yang notabene bukan orang Bandung, bangga menjadi produk Bandung.
Sayangnya, posisi Bandung sebagai pusat kesenian dan budaya, kini dinilai mulai pudar. Pemangku kebijakan dipandang tidak konsisten. Menurutnya, Bandung terlalu larut dalam euforia. Padahal, Bandung punya beragam potensi, namun tidak dikelola secara total.
“Setiap pergantian pemimpin, saya kira tidak perlu terlalu menunjukkan kelebihannya, karena sebenarnya Bandung tinggal dirawat. Bandung punya fashion, bola, dan musik, kenapa tidak dimaksimalkan? Itu saja digarap dulu, jangan terburu-buru menambah embel-embel kota kuliner dan lain sebagainya, supaya Bandung memiliki brandmark,” tegasnya.
Budi menyarankan, jika Bandung hendak mendeklarasikan diri sebagai Kota Musik, maka musik juga harus jadi ekosistem. Dari beberapa aspek, Bandung sudah sangat inklusif untuk disebut Kota Musik, namun ada satu hal yang dirasa masih belum maksimal.
“Sekarang kita lihat, di Bandung sudah ada sekolah musik, pegiat musik, studio rekaman, toko alat musik, produsen alat musik, tapi tempat mengekspresikannya tidak ada. Semua ini harus dijadikan ekosistem di Bandung, sehingga musik bisa jadi pendapatan daerah dan Bandung bisa diklaim sebagai Kota Musik,” jelasnya.
Elemen yang mendukung Bandung sebagai barometer musik terlihat dari banyaknya kegiatan musik setiap pekannya. Tapi, musisi daerah justru memilih untuk ‘hijrah’ dan mencari peruntungan di Jakarta ketika ingin menjadi musisi top, bukan malah di Bandung yang digadang-gadang sebagai Kota Musik.
“Harusnya orang kalau mau rekaman perginya ke Bandung, bukan ke Jakarta. Hal itu pernah dilakukan oleh Jelly Tobing, dia begitu bangga menjadi produknya Bandung, dan tentunya banyak juga yang lain. Kenapa sekarang mengikis? Ini yang menurut saya berubah,” tutupnya. (Reta)*