Pasar harus tetap terkontrol dan terkendali. Kita hendaknya tidak sepenuhnya menyandarkan diri pada mekanisme pasar yang inherently discriminatory itu, tetapi sebaliknya, pasarlah sebagai “alat” ekonomi, yang harus ramah dan mengabdi kepada negara.
Demikian sebagian kecil dari kutipan buku karya Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, berjudul Ekspose Ekonomika, yang dibedah di Kampus IV Unpas, Jalan Setuabudhi, Bandung, Sabtu 4 Februari 2017. Acara yang dipandu Prof. Dr. Ginandjar Kartasasmita tersebut menampilkan juga dua pembahas yaitu Dr. Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia yang kini menjadi Rektor Ikopin, serta Prasetijono Widjojo, MA dari Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
Selain para dosen dan pejabat di lingkungan Unpas, tampak hadir beberapa tokoh lainnya, di antaranya Prof. Subiakto Tjakrawerdaja mantan Menkop dan UKM pada era Presiden Soeharto, serta Prof. Dr. Meutia Hatta yang pernah menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu (2004 hingga 2009), yang tak lain istri Prof. Sri-Edi dan putri proklamator Bung Hatta. Dari kalangan pinisepuh Paguyuban Pasundan, di antaranya Prof. Dr. Sudjana Syafei, mantan Rektor ITB, serta Prof. Soeharsono Sagir yang dulu dikenal sebagai guru besar ekonomi di Unpad.
Prof. Dr. Sri-Edi Swasono (kanan) dengan moderator Prof. Dr. Ginandjar Kartasasmita (tengah), dan dua pembahas yakni Dr. Burhanuddin Abdullah (kiri) dan Prasetijono Widjojo, MA.*
Dalam sambutannya, Rektor Unpas, Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp., M.Si., M.Kom. menyatakan rasa bangga karena Unpas mendapat kehormatan untuk membedah karya seorang pakar yang sudah dikenal reputasinya. Apalagi acara tersebut dihadiri oleh beberapa mantan menko dan menteri.
“Prof. Sri-Edi Swasono merupakan tokoh ekonomi kerakyatan. Karena itu saya berharap, mudah-mudahan pada kesempatan sekarang kita mendapat pencerahan, dan kita bisa kembali ke revitalisasi,” ucap Rektor Unpas.
Dalam pengantarnya, Prof. Ginandjar yang di antaranya pernah menjabat Kepala Bappenas ini memaparkan ketokohan Prof. Sri-Edi, khususnya yang terkait dengan konsep serta sepak terjangnya di bidang ekonomi kerakyatan.
Dikatakan penulisnya bahwa buku Ekspose Ekonomika tadinya berupa orasi ilmiah yang disampaikan pada acara Reuni Akbar Alumni Fakultas Ekonomi Undip, tahun 2002, lalu ditambah dengan beberapa naskah ceramah, baik yang disampaikan di dalam maupun di luar negeri. Setelah itu barulah diterbitkan berupa buku pada tahun 2003.
“Tentu dalam terbitan ini berisi pula pemikiran-pemikiran kontemporer yang saya kembangkan pada mata kuliah Sistem Ekonomi di Fakultas Ekonomi UI, sejak tahun 2000 sampai sekarang,” ucap Prof. Sri-Edi.
Jelas sekali, sebagaimana yang dikatakan Rektor Unpas dalam sambutannya bahwa Prof. Sri-Edi tetap konsisten dalam konsep ekonomi kerakyatan. Dalam bukunya pun hal itu tergambar jelas, bagaimana ia tetap berpihak pada kepentingan rakyat. Tentang ekonomi liberalisme yang terjadi sekarang, misalnya, Prof. Sri-Edi tak henti-hentinya memberikan koreksi, demi tercapainya kepentingan bersama. Ekonomi yang liberal berpihak pada mekanisme pasar, bukannya pada kesejahteraan rakyat.
“Apa dan siapakah sebenarnya pasar itu? Bukankah saat ini di Indonesia pasar adalah sekadar keramaian percaturan ekonomi dari para pelaku dan penguasa pasar, yaitu: (1) kelompok penyandang/penguasa dana, para penerima titipan dana dari luar negeri (komprador), termasuk pra penyamun dana publik, singkatnya para financial tycoons atau para taoke dana; (2) para penguasa stok barang (termasuk para penimbun dan pengijon) dst.; (3) para spekulan (baik di pasar umum dan pasar modal) dst.; dan terakhir adalah (4) rakyat awam yang tenaga belinya lemah bukan penguasa pasar. Ramah kepada pasar pada dasarnya adalah ramah kepada ketiga kelompok pertama sebagai pelaku utama pasar, yang merupakan kelompok penguasa pasar, penentu pasar dan penyandang dana.”
Rektor Unpas Prof, Dr, Ir, H. Eddy Jusuf Sp, M.Si., M.Kom (kiri) bersama Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, moderator dan dua pembahas, masing-masing memegang buku “Ekspose Ekonomika” yang dibedah.*
Kesalahan utama dewasa ini, menurut Prof. Sri-Edi, kurang lebihnya terletak pada sikap kaum elit dan akademisi Indonesia yang kelewat mengagumi pasar bebas dengan persaingan bebasnya. Mereka tergenggam oleh fanatisme market fundamentalisme yang makin imajiner dalam kehidupan nyata yang penuh ketimpangan. Mereka telah “menobatkan” pasar bebas sebagai “berdaulat”, mengganti dan menggeser kadaulatan rakyat. Mereka telah menobatkan pasar sebagai “berhala baru” dalam pemikiran ekonomi, dengan segala mediokritasnya, tanpa mau tahu tentang inheren defects-nya.
Tentang apa yang dikemukakan Prof. Sri-Edi, baik Dr. Burhanuddin Abdullah maupun Prasetijono Widjojo, MA berpendapat bahwa kemakmuran masyarakat lebih utama daripada kemakmuran perseorangan. Selain itu, kita juga harus mewaspadai globalisasi.
“Sebetulnya dari dulu juga pakar ekonomi sudah banyak yang mengingatkan bahwa yang sering kita bicarakan adalah Pasal 33 UUD 1945, tapi kenyataannya tidak dilaksanakan. Keberpihakan kepada koperasi sebagaimana yang diamanatkan pada pasal tersebut, menurut pendapat saya, justru diragukan,” ucap Dr. Burhanuddin Abdullah.
Sedangkan menurut pendapat Prasetijono Widjojo, MA, dengan demokrasi ekonomi akan terjadi transformasi ekonomi dan transpormasi sosial dalam perekonomian rakyat.*** (TS)