BANDUNG, unpas.ac.id – Siapa yang tak tahu tteokbokki? Kudapan khas Negeri Ginseng yang tengah digandrungi kalangan muda, khususnya penggemar K-Pop dan drama Korea.
Jajanan yang banyak ditemukan di kawasan street food ini memiliki tekstur kenyal, berbaur dengan saus gochujang yang rasanya manis, pedas, dan gurih. Tteokbokki biasanya dibuat dari bahan dasar tepung beras, sehingga menghasilkan adonan berwarna putih.
Namun, di tangan kreatif mahasiswi Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan, tteokbokki dikreasikan dalam bentuk yang lebih menarik dan eye catching. Bahan dasar yang digunakan juga memanfaatkan hasil pertanian lokal, yaitu tepung (pati) umbi ganyong dan tepung beras hitam.
Blackpokki, Perpaduan Hasil Pertanian Lokal dan Cita Rasa Korea
Blackpokki namanya, singkatan dari black tteokbokki. Selain nyentrik dan unik dari segi warna, penggunaan pati ganyong dan tepung beras hitam menjadikan Blackpokki sebagai olahan yang kaya akan gizi.
Blackpokki merupakan kreasi Annisya Liesnawati, Dhiar Retni Panji Monesti, dan Ocky Wildanthi Rizqia Achmad yang berhasil merebut peringkat 1 pada Lomba Kreasi Olah Pangan (LKOP) di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten akhir Oktober 2021 lalu.
Annisya menjelaskan, umbi ganyong dapat dijadikan sumber pangan alternatif karena memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan beragam nutrisi lainnya. Umbi ganyong juga mengandung sejumlah senyawa penting seperti flavanoida, saponin, dan polifenol.
“Untuk tepung berasnya, kami ganti dengan tepung beras hitam karena punya kandungan antosianin dan vitamin B yang mungkin tidak terdapat di tteokpokki pada umumnya,” jelasnya, Selasa (18/1/2021).
Selain bergizi, penggunaan pati ganyong dan tepung beras hitam juga meningkatkan kualitas produk. Keduanya memang masih jarang ditemui di pasar offline, namun sudah bisa dibeli di marketplace dengan harga terjangkau.
Meski tteokpokki hitam mulai beredar di pasaran, namun kandungannya berbeda dengan Blackpokki. Warna hitam yang dihasilkan bukan berasal dari tepung beras hitam, melainkan memakai pewarna makanan atau bubuk charcoal (arang aktif).
“Karena tinggi karbohidrat dan tambahan serat pangan dari tepung beras hitam, produk kami cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori,” tuturnya.
Menurut Annisya, Blackpokki punya diferensiasi yang kuat dibanding produk kompetitor. Mulai dari kandungan gizi, organoleptik, dan variasi isian keju quick melt yang memperkuat cita rasa.
Tekstur yang dihasilkan kurang lebih sama dengan tteokpokki dari tepung beras biasa. Formulasi saus gochujang juga dibuat semirip mungkin dengan aslinya. Bedanya, gochujang yang dipakai menggunakan gochujang lokal dan tersertifikasi halal.
Dikemas Menarik dan Safety
Di samping keunikan yang ditonjolkan, pengemasan produk juga memberikan nilai plus bagi Blackpokki. Pertama, produk dikemas dengan kemasan vakum agar kedap udara dan tahan lama (masa penyimpanan di suhu ruang 2 hari, di freezer 2 bulan). Setelah divakum, produk dimasukkan ke dalam wadah microwave safe berbahan Polypropylene (PP).
“Wadah ini mempermudah penyajian, jadi setelah dipanaskan bisa langsung dikonsumsi di tempatnya. Kami juga melapisi label di sekeliling produk, lengkap dengan cara penyimpanan, saran penyajian, dan komposisi,” ujarnya.
Walaupun strategi produksi, promosi, distribusi, dan penetapan harga telah dicantumkan dalam proposal bisnis yang diikutsertakan pada lomba, Annisya dan timnya mengaku belum berencana mengomersialkan Blackpokki karena masing-masing disibukkan dengan tugas akhir.
“Kami rasa, potensi pasar Blackpokki cukup baik, karena melihat keunikan di produk, bahan, dan maraknya tren Korean Culture. Harga yang dipatok juga tidak mahal, hanya 12 ribu rupiah untuk 100 gram. Jika dijual, kami tentu akan menonjolkan inovasi, promosi, packaging atau teknologi, dan manfaat produk,” tutupnya. (Reta)*