Foto atas, Ketua Umum Paguyuban Pasundan Prof. Dr. HM Didi Turmudzi, M.Si (kiri) menerima buku Wayang Golek. Foto bawah, Rektor Unpas Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp, M.Si., M.Kom (kanan) juga menerima buku Wayang Golek.
Ciptagelar, sebuah kampung adat yang berlabel “kasepuhan” di kaki Gunung Halimun, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Terdapat tradisi turun-temurun yang hingga saat ini relatif masih terpelihara. Pementasan wayang golek, misalnya, secara rutin ada waktu-waktu tertentu, yang hal itu terkait dengan kegiatan upacara adat.
Hal itulah yang mendorong Lembaga Budaya Sunda (LBS) Unpas melakukan penelitian tentang wayang golek di Ciptagelar. Ranah yang diteliti mencakup kreativitas yang terkait dengan faktor sosial, serta faktor spiritual. Selama beberapa bulan, LBS di bawah komando Dr. H. Wawan Setiawan melaksanakan serangkaian riset, dibantu pihak luar yang memiliki kompetensi tentang keberadaan kasepuhan tersebut, baik dalam hal budaya maupun lingkungan geografis. Mereka adalah Amin R. Iskandar, Gustaff H. Iskandar, Opick S. Sunarya, dan Andar Manik.
Hasil penelitian mereka sudah dikemas berupa buku berbahasa Inggris, Wayang Golek of Ciptagelar, dengan anak judul Notes on Its History, Development, and Recent Condition. Buku setebal 184 halaman tersebut secara resmi diluncurkan pada hari Selasa, 22 November 2016 di Kampus IV Unpas, Jalan Setiabudhi 193, Bandung.
“Yang kami kerjakan lebih awal adalah penyusunan teks dalam bahasa Inggris. Selanjutnya akan disusun pula dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda,” ucap Wawan Setiawan dalam pidato pengantarnya.
Pada kesempatan tersebut tampak hadir Ketua Umum Paguyuban Pasundan Prof. Dr. HM Didi Turmudzi, M.Si, Rektor Unpas Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp, M.Si., M.Kom dan unsur pimpinan lainnya, serta para mahasiswa yang sengaja meluangkan waktu untuk menyaksikan acara yang digelar di aula Oto Iskandar di Nata. Demikian pula pejabat dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan—baik dari Jawa Barat maupun Kota Bandung, perwakilan dari komunitas adat, dan mantan Rektor Unpad, Prof. Himendra Wargahadibrata.
Suasana tampak lebih meriah lagi dengan hadirnya rombongan kesenian Dogdog Lojor dan Angklung Gubrag yang jika dilihat dari sejarah lahirnya sudah terbilang seni arkais atau buhun. Mereka menyajikan beberapa lagu tradisional Sunda. Kesenian ini biasa ditampilkan untuk memeriahkan kegiatan upacara adat.
Kang Yoyo, wakil dari kasepuhan menyampaikan ungkapan terima kasih, atas perhatian Unpas dalam upaya mendokumentasikan seni wayang golek di Ciptagelar. Pada kesempatan itu, ditayangkan suasana di Ciptagelar, khususnya tentang lingkungan alamnya yang asri, serta kegiatan masyarakatnya dalam mengolah lahan pertanian.
Rektor Unpas, Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp., M.Si., M.Kom. menyatakan kekaguman dan ketertarikannya pada saat menyaksikan tayangan video tersebut. Nun jauh di balik gunung, terhindar dari hingar bingarnya kota, kampung kasepuhan menyiratkan kedamaian dan ketentraman.
“Wayang golek adalah salah satu warisan karuhun kita yang harus kita pelihara,” ucap Prof. Eddy Jusuf. Untuk itulah pihak Unpas menyediakan diri membantu masyarakat di sana, yaitu dalam riset wayang golek sebagaimana yang telah dikerjakan LBS Unpas.
Rektor berharap, seni budaya di Ciptagelar bisa tambah berkembang lagi untuk memperkaya khasanah budaya Sunda. Terhadap hal itu, Unpas punya komitmen sebagaimana yang tersurat dalam visi dan misinya.
Ciptagelar yang merupakan kampung adat ini terletak di wilayah Kabupaten Sukabumi. Terdapat tradisi unik yang biasa dilaksanakan warganya, yaitu berpindah-pindah kampung, dari satu lokasi ke lokasi lain. Kampung tersebut dipimpin oleh seorang sesepuh yang biasa dipanggil Abah. Sekarang, yang menjadi sesepuh di sana adalah Abah Ugi Sugriana Rakasiwi.
Konon, pindahnya lokasi kampung ini berdasarkan “wangsit”, semacam mencari tanah yang dijanjikan atau the promise land. Masih konon, proses perpindahan itu dalam rangka menemukan kampung terakhir yang disebut Lebak Cawéné. Jika dilihat sejarahnya, pencarian dan perpindahan lokasi ini sudah dilakukan sejak lama. Misalnya saja, ketika Abah Arjo menjadi sesepuh, lokasinya di Ciganas. Setelah itu, pada zaman Abah Encup Sucipta, dipindahkan lagi ke Ciptarasa, lalu ke Ciptagelar.
Keberadaan kampung adat tersebut pernah dijadikan bahan penelitian untuk keperluan penulisan disertasi oleh Kusnaka Adimihardja. Dari penelitiannya itu, kita bisa memperoleh informasi bahwa masyarakat adat di sana disebut pancer pangawinan. Menurut Kusnaka, karuhun mereka adalah pasukan khusus Kerajaan Sunda (yang sering juga disebut Pajajaran) yang tetap bertahan pada saat kerajaan tersebut dihancurkan musuh-musuhnya, awal abad ke-16. Kusnaka mengistilahkan mereka sebagai: RPKAD-nya Pajajaran, sebagai benteng terakhir Kerajaan Sunda. Mereka melarikan diri ke arah selatan, karena Pajajaran sudah jatuh ke tangan musuh, hingga akhirnya sampailah ke lokasi yang sekarang disebut wilayah Jawa Barat bagian selatan. Di situlah pasukan khusus Pajajaran tersebut tinggal dan melahirkan keturunan hingga sekarang.
Secara sadar, warga kasepuhan dari satu generasi ke generasi berikutnya tetap mempertahankan tradisi warisan leluhur. Hal tersebut di antaranya dapat dilihat pada berbagai upacara adat yang biasa dilaksanakan oleh mereka.
Selain Rektor Unpas, Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si. menyambut baik terhadap upaya yang telah dilakukan dalam mendokumentasikan seni budaya di Ciptagelar.
Pada acara bagian akhir ditampilkan pementasan wayang golek dengan dalang Opick S. Sunandar.***