Para nara sumber pada dialog kebangsaan FISIP Unpas bersama Wakil Rektor III Unpas Dr. Deden Ramdan, M.Si dan Dekan FISIP M. Budiana, S.IP., M.Si.
Dekan FISIP Unpas M. Budiana, S.IP., M.Si menyerahkan cenderamata kepada para narasumber pada Dialog Kebangsaan.*
Dialog Kebangsaan FISIP Unpas
Rejuvenasi Bhineka Tunggal Ika
Fragmentasi sosial yang mengkuatirkan kini dihadapi bangsa kita. Berbagai persoalan menyentuh aspek perbedaan sebagai fitrah manusia dan toleransi yang merupakan konsensus bersama dalam bernegara. Timbulnya hal itu antara lain karena minimnya pemahaman perbedaan di kalangan masyarakat.
Hal itulah yang mendorong Forum Dosen Muda FISIP Unpas menyelenggarakan acara Dialog Kebangsaan, dengan mengetengahkan tema “Toleransi di Tengah Politik Identitas dan Radikalisme”. Kegiatan dilaksanakan Jumat 16 Juni 2017 di Aula Suradireja Kampus I Unpas, Jalan Lengkong Besar 68, Bandung. Yang menjadi nara sumbernya adalah Mayjen TNI (Purn) Dr. Putu Sastra Wingarta, SIP, M.Sc. (Lemhanas RI), Mohammad Nasir Abbas (Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah), dan Dr. Abdy Yuhana, SH, MH (pakar Hukum Tata Negara Unpas).
Kegiatan tersebut boleh dibilang istimewa, sebab tidak hanya dihadiri sivitas akademika Unpas, khususnya FISIP, melainkan juga perwakilan dari parpol dan LSM, serta Polda Jabar. Hadir pula salah seorang tokoh Jabar, Mayjen TNI (Purn) Iwan Sulanjana yang juga mantan Pangdam III Siliwangi. Dialog dipandu oleh Dr. Awang Munawar yang juga dosen FISIP Unpas.
Dr. Sutrisno, S. Sos., M.Si. yang mewakili panitia penyelengara menyampaikan dalam kata pengantarnya bahwa tujuan acara tersebut ialah untuk mendiskusikan berbagai masalah kebhinekaan di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi demi kemajuan bangsa.
“Selain itu, juga untuk memberikan permahaman kepada masyarakat mengenai arti toleransi dan radikalisme, serta menghasilkan langkah solutif bagi permasalahan kebhinekaan di Indonesia sebagai negara yang pluralis,” paparnya lagi.
Secara praktis, lanjutnya, politik identitas seringkali terkait dengan upaya (sekadar) penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga, hingga tuntutan pada perubahan terhadap sistem negara yang tidak jarang dimotori oleh kelompok radikal yang dinilai sebagai dasar dari radikalisme.
“Pilkada DKI beberapa waktu lalu, seakan bisa menjadi cermin dan momen berharga bahwa ancaman terhadap perbedaan selalu ada, dan bahkan bisa membesar jika tidak dilakukan antisipatif dari berbagai kalangan, baik terkait pemahaman dasar perbedaan adalah alami dan hidup dalam perbedaan atau keragaman memerlukan toleransi, salingmemahami, dan membutuhkan dialog,” katanya.
Lemhanas RI, sebagai dikemukakan Putu Sastra Wingarta, mencatat beberapa hal terkait dengan politik identitas. Dikatakannya bahwa politik identitas adalah politik yang memanfaatkan perbedaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan ras, etnisitas, jender, atau keagamaan untuk kepentingan politik kelompok tertentudengan mengorbankan persatuan.
“Politik identitas yang mengusung isu SARA untuk kepentingan politik praktis yang tidak bermoral, karena menanggalkan nilai-nilai luhur bangsa yang berdasarkan Pancasila,” ucap Putu Sastra. Akibatnya, marak intoleransi, karena perbedaan dipersepsikan sebagai ketidak-benaran, atau intoleransiyang menolak perbedaan.
Kondisi seperti itu rentan terhadap konflik sosial yang menghasilkan ancaman disintegrasi sosial sampai dengan disintegrasi nasional. Kondisi sosial yang rentan terhadap percikan api akan menghasilkan kebakaran besar anarkisme yang membawa perpecahan bangsa. Terlebih-lebih jika ditunggangi dengan paham radikalisme yang saat ini sedang marak dihadapi dunia, termasuk Indonesia.
Berdasarkan hasil pengukuran Laboratorium Ketahanan Nasional per 31 Desember 2016, dalam menghadapi persoalan ideologi, maka tingkat ketangguhan ketahanan nasional Indonesia termasuk ke dalam katagori kurang tangguh,dengan indeks 1,80 s.d. 2,60. Dengan kata lain, indeks ketahanan nasional Indonesia yang kurang tangguh tidak terlepas dari kontribusi integrasi komponan bangsa dalam praktik ke-bhineka-tunggal-ika-an yang masih bermasalah.
Jubah Agama
“Intoleransi menjadi sebuah isu strategis yang terus mewarnai kehidupan sosial masyarakat. Terlebih-lebih kondisi seperti dimanfaatkan oleh kepentingan politik sekelompok masyarakat dengan menggunakan radikalisme sebagai alatnya,” ucap Putu Sastra. Ideologi radikalisme memiliki daya pesona yang cukup kuat bagi anak muda. Tidak hanya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, melainkan juga di negara-negara maju. Yang perlu diwaspadai adalah militansi dan radikalisme yang menggunakan jubah agama sebagai pembenaran perjuangan politik yang sejatinya bermuara pada perebutan kekuasaan.
Sehubungan dengan hal itu, menurut Putu Sastra, Bhineka Tunggal Ika tidak seharusnya diartikan secara harfiah yang lepas dari kata lain dalam sebuah konstruksi “bhineka tunggalika, tan hana dharma mangrva”, yang artinya walaupun beragam tetap tetap dalam satu tujuan, dalam hal ini tujuan nasional, karena tidak ada tujuan nasional selain yang dikehendaki dalam UUD NRI 1945.
“Dalam menghadapi maraknya intoleransi, akibat berkembangnya praktik politik identitas dan radikalisme, maka menjadi penting untuk melakukan revitalisasi kewaspadaan nasional terhadap disintegrasi bangsa dengan melakukan rejuvenasi Bhineka Tunggal Ika, atau peremajaan kembali pemahaman tentang Bhineka Tunggal Ika seperti yang dikehendaki oleh para pendidi bangsa yang sangat menenkankan arti penting persatuan dalam menghadapi keberagaman atau kemajemukan bangsa. Ini menjadi sebuah keniscayaan bagi geopolitik Indonesia dalam menghadapi kehidupan nasionalnya ke depan,” ujarnya.
Moohammad Nasir Abbas memaparkan pengalaman dan pandangannya di seputar gerakan sekelompok umat Islam yang bercita-cita untuk menegakkan Negara Islam, yang secara resmi sudah diawali pada tahun 1949 oleh SM Kartosuwiryo. “Pada dasarnya hal itu adalah memaksakan kehendak,” ucapnya. Sebelum proklamasi, para ulama telah memutuskan bahwa Indonesia adalah beragam. Namun hal itu tidak dipahami oleh Kartosuwiryo, sehingga berdirilah Negara Islam Indonesia, dengan langkah-langkah mencari dukungan masyarakat, penguasaan wilayah, dan kekuatan persenjataan.
Diakui oleh Nasir Abbas bahwa dirinya pernah menjadi bagian dari hal itu, bahkan mendapat jabatan cukup tinggi, sebab wilayah kekuasaannya tidak hanya di Indonesia, melainkan sampai ke Filipina. Tujuannya adalah untuk menegakkan kembali Negara Islam. Namun untuk masa-masa selanjutnya ia meninggalkan semua itu. Menurut pendapat Nasir Abbas, yang namanya pemaksaaan kehendak akan membawa kepada intoleransi.
“Islam itu rahmatan lil alamin,” ucapnya lagi.
Dikatakannya, beberapa kelompok di Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya belum menggunakan senjata. Tapi di wilayah negara lain, mereka sudah menggunakan senjata, misalnya Jamaah Tabligh di Rohili, Myanmar, karena kondisi di sana mengharuskan begitu.
Sedangkan menurut Abdy Yuhana, “Kita sudah selesai dengan negara Pancasila. Karena itu, politik identitas akan menarik pada perdebatan yang kontra produktif.”
Para founding father sudah menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara, merupakan kesepakatan bernegara. “Visi Negara Pancasila merupakan cara pandang kita dalam mengelola kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara; bahwa tidak ada staatide atau konsep negara lain yang tepat bagi bangsaIndonesia yang secara rasional dapat memperkokoh persatuan, keutuhan, dan kesatuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, selain lima dasar yang ada di dalam Pancasila yang harus dipedomanidan dipraktikkan secara sadar,” katanya.
Memang, lanjutnya, pada tahun 1950, yaitu saat masih ada Konstituante, kita pernah berada pada perdebatan di seputar negara agama dengan negara kebangsaan. Namun akhirnya kondisi itu diakhiri dengan Dekrit Presiden yang sebetulnya dirumuskan bukan hanya oleh Bung Karno saja, melainkan dengan melibatkan pemikiran sejumlah tokoh nasional.
“Kini, di tengah arus globalisasi, ada kecenderungan dua ideologi yang tengah menguat dalam konteks internasionalisme, yaitu paham liberalisme dan paham radikalisme agama. Maka bagi bangsa Indonesia perlu untuk keluar dari dominasi kedua ideologi tersebut, dan tentunya kebutuhan akan kokohnya Pancasila sebagai ideologi negara,” begitu pendapatnya.
Liberalisme yang mengagungkan paham individualisme menghendaki adanya kebebasan yang tak terbatas dimiliki oleh setiap individu dalam sebuah negara, sehingga peran negara menjadi lebih sedikit dan dipraktikkan dengan demokrasi mayoritas. Dalam konteks Indonesia, paham tersebut, selain tidak sesuai dengan budaya gotong royong, juga sejatinya sudah ditinggalkan oleh negara-negara di dunia sebagaimana diungkapkan oleh Arend Lijphart bahwa kebanyakan pemerintah demokratis lebih menganut model konsensus, atau demokrasi yang mengarus-utamakan konsensus, dan hal ini sudah sejalan dengan Pancasila yang mengambil jalan musyawarah mufakat sebagai pedoman dalam engambil keputusan.
Menerapkan paham agama, bagi Indonesia sesungguhnya hal yang sudah usang, karena sama saja dengan membuka perdebatan lama dan akan menguras enerji bangsa yang tidak produktif bagi kemajuan bangsa, dan juga karena lagi-lagi sesungguhnya tidak cocok dengan realitas keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia.*** (TS)