BANDUNG, unpas.ac.id – Tahun lalu, Digital Civility Index (DCI) melakukan survei tingkat kesopanan tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berkomunikasi di dunia maya yang menyertakan responden dari 32 negara. Survei tersebut mencakup responden dewasa dan remaja tentang interaksi dan pengalaman mereka menghadapi risiko di dunia maya.
Hasil survei baru dipublikasikan pada Februari 2021 dan menunjukkan netizen Indonesia menempati urutan terbawah atau paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Diberlakukan skor 0 sampai 100, di mana makin rendah skor berarti paparan risiko online kian rendah.
Netizen Indonesia kerap menjadi sorotan karena kelakuannya melontarkan komentar bernada negatif di media sosial. Bahkan, saat Microsoft merilis hasil survei di Instagram, kolom komentar sampai ditutup karena diserbu protes netizen Indonesia.
Begitu pula di kasus-kasus lain, di antaranya saat tim Indonesia dipaksa mundur dari All England 2021, salah serang akun komedian yang dikira wasit All England, insiden pertandingan catur antara Dewa Kipas dan GothamChess, hingga di postingan daily activity publik figur.
Serbuan komentar netizen Indonesia seolah membenarkan label tidak sopan. Tidak hanya kasar, namun rasis dan provokatif. Berdasarkan riset, setidaknya ada tiga faktor yang memengaruhi tingkat kesopanan netizen Indonesia.
1. Hoaks atau penipuan
Hoaks atau penipuan menjadi faktor tertinggi, dibanding tahun lalu, naik 13 poin ke angka 47 persen. Netizen Indonesia dinilai masih belum bisa mendeteksi hoaks. Diperkirakan, orang memang sengaja menyebarkan hoaks atau tidak tahu bahwa yang disebarkan adalah hoaks.
Dalam pencegahan hoaks, lebih banyak imbauan untuk tidak menyebarkan hoaks ketimbang larangan membuat hoaks. Di samping itu, penipuan melalui media sosial juga semakin marak.
2. Ujaran kebencian
Kemunduran tingkat kesopanan juga didorong masifnya ujaran kebencian. Faktor ini naik 5 poin menjadi 27 persen. Narasi-narasi kebencian biasanya menyinggung isu, ras, agama, orientasi seksual, politik, disabilitas, dan sebagainya.
Alur ujaran kebencian bermula dari prasangka, lalu timbul perasaan benci sehingga terjadi tindakan memberantas kelompok tersebut. Para pembuat ujaran kebencian beralasan jika dirinya merasa kecewa terhadap suatu tindakan tertentu.
3. Diskriminasi
Walaupun menurun 2 poin dari tahun lalu, namun perilaku diskriminasi masih banyak ditemukan di media sosial. Bentuk diskriminasi ini meliputi bullying bentuk tubuh, pakaian, gender, suku, sampai warna kulit.
Banyaknya netizen yang tidak terima akan hasil riset tersebut, sebab orang Indonesia dikenal ramah dan sopan di dunia nyata. Sebagai orang timur, masyarakat Indonesia menjunjung tinggi adat istiadat, tata krama, dan sopan santun ditunjukkan dengan kebiasaan sehari-hari.
Sayangnya, tidak sedikit pula yang menilai kalau perilaku netizen Indonesia di media sosial bertolak belakang dengan dunia nyata. Terbukti dengan jejak digital yang menunjukkan komentar netizen Indonesia memang pedas.
Jadi, alangkah baiknya, entah di dunia nyata maupun dunia maya, sopan santun harus tetap dijaga agar tidak ada spekulasi atau kesimpangsiuran. (Reta Amaliyah S)*