BANDUNG, unpas.ac.id – Rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan dan sembako terus menuai kritik. Selain berpotensi menyebabkan inflasi, pemberlakuan PPN di kedua sektor tersebut juga menyalahi prinsip kebijakan publik.
Pengamat Kebijakan Publik sekaligus Wakil Rektor III Universitas Pasundan Dr. H. Deden Ramdan, M.Si mengatakan, segala bentuk kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik setidaknya harus memperhatikan dan memenuhi tiga syarat.
“Pertama, mengedepankan nilai-nilai kemaslahatan dan dipikirkan secara bijak. Kedua, kebijakan publik mesti didasarkan pada objektivitas dan rasionalitas. Ketiga, merujuk pada aspek legal formal. Sebelum kebijakan dibuat, lakukan langkah-langkahnya secara jelas, matang, dan terukur, dilandasi argumen yang kuat,” jelasnya, Sabtu (19/6/2021).
Dibanding memberlakukan PPN pendidikan dan sembako, ia menyarankan agar pemerintah menormalkan kembali pajak otomotif dan pajak konstruksi properti dan real estate yang termasuk dalam klasifikasi lapangan usaha (KLU).
Selain itu, bisa memanfaatkan empat insentif pajak sekaligus, yakni PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, potongan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30 persen, serta restitusi PPN dipercepat yang menurutnya malah menguntungkan segelintir pihak termasuk para importir, serta kebijakan menaikkan harga rokok dan minuman keras.
“Di satu sisi, kebutuhan dasar masyarakat dikenakan PPN, di sisi lain, misalnya otomotif untuk beberapa merek tertentu malah pajaknya nol persen. Kalaupun sampai dilanjutkan, saya memprediksi penerimaan APBN dari PPN pendidikan dan sembako tidak semuanya akan dialokasikan di sektor yang sama, tapi atas nama keseimbangan dialihkan untuk anggaran lain,” tambahnya.
Kondisi ini, menurutnya, hanya akan menimbulkan distrust atau ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kebijakan tersebut dinilai semakin menyengsarakan rakyat kecil berpenghasilan rendah dan seolah menganakemaskan kelompok menengah ke atas.
“Ini tidak rasional bahkan bertolak belakang dengan semangat konstitusi. Bagaimana kualitas bangsa ini mau meningkat kalau pendidikannya dikenai pajak? Yang ada malah biaya sekolah jadi mahal dan sulit melakukan pemerataan pendidikan, juga meningkatkan indeks pembangunan manusia sebagai penopang kemajuan suatu bangsa” paparnya.
Ia memahami bahwa pemerintah tengah menghadapi situasi sulit, namun tidak bisa gegabah mengambil langkah. Pemerintah seharusnya cerdas dalam menganalisis apa yang mungkin dilakukan untuk menutup defisit anggaran dan meningkatkan pendapatan.
Jika masih dipaksakan, maka dipastikan akan berdampak buruk pada citra dan reputasi pemerintahan saat ini. Hal ini disayangkan, sebab tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi masih terhitung tinggi.
“Kepercayaan masyarakat mencapai 75,6 persen (Survei SMRC, Mei 2021), misalnya mengenai keberhasilan infrastruktur, reposisi kementerian dan lembaga, BUMN disehatkan kembali, tapi semuanya bisa rusak kalau kebijakan PPN ditetapkan. Pemerintah akan bertaruh dengan keadaan yang dibuatnya sendiri di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang sejatinya butuh dukungan dari seluruh elemen bangsa untuk keluar dari krisis,” ujarnya.
Namun demikian, Deden meyakini, melihat perkembangan sekarang, kemungkinan wacana ini tidak akan dipaksakan masuk program legislasi nasional (prolegnas), mengingat penolakan keras dari masyarakat, bahkan partai koalisi pemerintah pun menolak secara gamblang, serta meminta untuk dihentikan. (Reta)*