KSAL Laksamana Ade Supandi, SE., MAP menyampaikan orasi pada Peringatan Deklarasi Juanda ke 59 yang diselenggarakan Paguyuban Pasundan di Kampus IV Unpas Jl. Setiabudhi 193 Bandung.
Foto bersama : KSAL Laksamana Ade Supandi, SE., MAP (ketiga dari kanan), Ketua Umum Paguyuban Pasundan Prof. Dr. HM Didi Turmudzi, M.Si (keempat dari kanan), Rektor Unpas Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf SP, M.Si., M.Kom (kedua dari kiri), Ketua DPRD Jawa Barat (kedua dari kanan) dan sesepuh Jawa Barat.
Juanda punya visi jauh ke depan dalam menerawang kehidupan bangsa. Pada saat menjadi Perdana Menteri RI, tahun 1957, dideklarasikanlah sebuah konsep yang menyatakan bahwa “Segala perairan di sekeliling dan di antara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia.”
Konsep tersebut disampaikan kepada dunia di depan Sidang PBB, 13 Desember 1957. Negara-negara lain tidak langsung menerima, namun pemerintah Indonesia terus memperjuangkannya. Akhirnya pada konvensi ketiga PBB tentang hukum laut (United Nations Conference on the Law of Sea, atau Unclos ’82), konsepsi Negara Kepulauan (Archipelago Principle) yang digagas Juanda ditanda-tangani oleh 130 negara.
Demikian ditegaskan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi,SE, MAP pada peringatan Deklarasi Juanda ke-59 yang diselenggarakan hari Kamis 15 Desember 2016 di Kampus IV Unpas, Jalan Setiabudhi, Bandung.
Kegiatan yang dilaksanakan oleh Pengurus Besar (PB) Paguyuban Pasundan itu dihadiri sejumlah tokoh penting, baik dari pemerintahan maupun tokoh masyarakat lainnya. Selain Gubernur dan Ketua DPRD Jawa Barat, juga petinggi TNI dan Polri lainnya. Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Mayjen (Purn.) Dr. TB Hasanuddin pun menyempatkan hadir.
Rektor Unpas, Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp., M.Si., M.Kom. bertindak sebagai tuan rumah bersama jajaran kepemimpinan lainnya, baik dari fakultas maupun prodi. Selain dosen, para mahasiswa pun disertakan sebagai undangan.
“Dengan diakuinya konsepsi tersebut, Indonesia kemudian menjadi Negara Kepulauan terbesar di dunia. Saat ini Indonesia memiliki 17.499 pulau, dengan luas wilayah mencapai 5,9 juta kilometer persegi,” ucap Laksamana Ade Supandi yang pituin Cigondewah, Bandung ini.
Ditegaskannya lebih lanjut, Deklarasi Juanda (pada ejaan lama ditulis: Deklarasi Djuanda) memiliki nilai sangat strategis bagi Indonesia, karena telah melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan seluruh wilayah Indonesia. Laut Nusantara bukan lagi pemisah, melainkan sebagaipemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak NKRI.
Bagi bangsa Indonesia, laut merupakan bagian integral dari wilayah negara yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Laut harus dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat melalui pembangunan nasional dengan tetap memperhatikan hak negara lain, sebagaimana diatur dalam Unclos 1982.
“Sayangnya, kita barus sebatas menjadi negara maritm, belum menjadi bangsa maritim,” ucap Ade Supandi. Bangsa maritim di antaranya menggantungkan kehidupan terbesarnya kepada laut. Demikian pula dalam hal perdagangannya. Hingga saat ini, kekayaan laut kita masih banyak dimanfaatkan pihak-pihak asing. Padahal, 25 persen ikan dari kekayaan laut dunia berada di wilayah perairan negara kita.
Dinikmati Pihak Asing
Andai dimanfaat secara optimal, kekayaan dari laut kita akan bisa mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Memang, pada akhirnya untuk memanfaatkan kekayaan laut tidak akan lepas dari teknologi. Berbicara apapun tentang hal itu, ujung-ujungnya kita harus memiliki kapal yang memadai.
“Ini menjadi tugas perguruan tinggi untuk membangun kemaritiman kita; bagaimana mendisain kapal yang irit bahan bakar, atau yang kemampuan melajunya lebih cepat, misalnya,” ucap Kasal. Andai saja setiap provinsi di Inonesia bisa menyisihkan anggaran sebesar satu trilyun rupiah per tahun untuk kegiatan kemaritiman, setidaknya akan ada 30 kapal baru yang dimiliki, khususnya untuk keperluan menangkap ikan.
Yang pertama-tama harus dilakukan, menurut KSAL, adalah mengubah mind set kita; bahwa kehidupan di laut tidaklah menakutkan.
Dalam konteks pembangunan, laut berfungsi sebagai media pemersatu bangsa, media perhubungan, media sumber daya, media pertahanan dan keamanan, serta media untuk membangun pengaruh terhadap negara-negara lain dalam wujud Confidence Building Measures (CBM) sebagai wahana diplomasi.
Sejalan dengan pendapat KSAL, Gubernur Jawa Barat memaparkan apa yang pernah diketahuinya. Di Jepang pernah dilakukan lelang ikan termahal yang ditangkap para nelayan China, yaitu ikan tuna sirip biru yang ukurannya besar-besar. Jika dikonversi ke dalam rupiah, harga per ekornya mencapai empat milyar.
“Ternyata, nelayan China menangkap ikan tersebut di Samudera Indonesia. Ya, mungkin di sebelah selatan Garut atau Sukabumi. Nelayan kita tidak mampu menangkapnya, padahal; jarak dari pantai sekitar 20 mil. Bandingkan dengan nelayan China yang harus berjuang ribuan mil untuk mencapai lokasi penangkapan ikan tersebut. Kita kalah dalam teknologi, sehingga kekayaan laut kita banyak dinikmati pihak asing,” ucap Gubernur Ahmad Heryawan.
Deklarasi Juanda merupakan salah satu modal dasar untuk membangun Indonesia dalam upaya mensejahterakan rakyatnya. Konsep tersebut lahir dari putra Sunda yang begitu kuat komitmennya terhadap kehidupan bangsa. Banyak sekali jasa Juanda bagi bangsa Indonesia. Ia adalah seorang intelektual yang visinya jauh ke depan.
“Karena itu, saya sebagai Gubernur Jawa Barat menyambut baik dan mengapresiasi upaya Paguyuban Pasundan dalam melaksanakan peringatan Deklarasi Juanda ini,” tegas Gubernur Aher.
Perjuangan Juanda tidak bisa dipisahkan dari Paguyuban Pasundan. Demikian ditegaskan Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si, yang kini mendapat amanat sebagai Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan. Dikatakannya bahwa Juanda adalah Sekjen Paguyuban Pasundan tahun 1947.
Juanda Kartawijaya, putra Sunda berotak cemerlang. Bayangkan saja, pada tahun 1933, ia lulus dari THS (Technische Hogeschool, sekarang menjadi ITB) pada usia 22 tahun. Kepintaran Juanda jauh melampaui mahasiswa THS lainnya yang kebanyakan orang Eropa. Pada masa itu amatlah langka inlander (kaum pribumi) yang kuliah di THS. Dari seluruh mahasiswa THS, kaum pribuminya hanya berjumlah empat orang saja. Juanda mampu membuktikan bahwa dirinyalah yang terbaik.
Lahir di lingkungan keluarga guru, di Tasikmalaya, 14 Januari 1911, dari pasangan Momot dan Kartawijaya. Kecemerlangan otaknya sudah terlihat sejak Juanda masih kanak-kanak. Dia selalu menjadi murid terpandai, khususnya dalam pelajaran berhitung dan bahasa Belanda. Tak tanggung-tanggung, ketika duduk di kelas V ELS (Europeesche Lagere School, sekolah dasar bagi anak-anak Eropa dan bangsawan pribumi, semisal bupati), Juanda langsung melompat ke kelas VII. ELS mau menerima Juanda menjadi muridnya karena semata-mata ia anak terpandai, bukan karena faktor keningratan, sebab ayahnya hanyalah seorang mantri guru (kepala sekolah).
Memegang Teguh Kejujuran
Kelak di kemudian hari, anak terpandai ini berhasil menorehkan prestasi yang luar biasa. Banyak yang ia kerjakan untuk kemajuan Indonesia, serta pernah pula menduduki jabatan penting, di antaranya sebagai Perdana Menteri (9 April 1957 – 10 Juli 1959). Setelah itu disambung lagi menjadi Menteri Pertama (hingga 6 November 1963), yang sebetulnya posisinya berada di atas Perdana Menteri, sebab pernah dipercaya menjadi Pejabat Presiden ketika Presiden Soekarno sedang melakukan lawatan ke luar negeri.
Sebagaimana ditulis dalam sejarah, setelah menjadi insinyur, Juanda justru membaktikan dirinya di bidang pendidikan. Ia menjadi guru di lingkungan perguruan Muhammadiyah, kemudian menjadi kepala sekolah di AMS (setingkat dengan SMA sekarang) dan di Kweekschool (sekolah yang mendidik calon guru). Agaknya Juanda menyadari bahwa pada masa itu sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi kaum pribumi memerlukan perhatian ekstra, sebab merupakan wahana untuk mendidik generasi harapan bangsa.
Barulah pada tahun 1939 Juanda menetapkan pilihan untuk terjun ke dalam profesi yang sesuai dengan gelar akademiknya. Ia menjadi tenaga ahli di Provinciale Waterstaat atau Jawatan Pengairan Provinsi Jawa Barat. Ia merancang pembuatan jembatan di Sungai Citarum, yang lokasinya di Kedunggede. Sayang sekali jembatan tersebut dihancurkan pada saat terjadi Perang Dunia II, untuk membendung serbuan Jepang.
Juanda tidak hanya bergelut di bidang pendidikan dan teknik, melainkan ia pun menjadi bagian dari pergerakan nasional. Sejak masih menjadi guru, ia bergabung di organisasi Paguyuban Pasundan bersama Oto Iskandar di Nata. Di situlah jiwa nasionalisme Juanda ditempa. Namun, dalam penampilan kesehariannya, Juanda bukanlah tokoh yang pandai berpidato (orator). Dia lebih dikenal sebagai pemikir dan pekerja ulet, berlandaskan prinsip kejujuran.
Juanda tidak dikenal sebagai politikus, melainkan teknokrat dengan karya-karya besar. Keikut-sertaannya dalam kabinet sejak tahun 1946 lebih disebabkan faktor keteknokratannya. Pada saat banyak menteri yang masuk untuk memperkuat kebinet melalui pintu partai, Juanda terpilih justru bukan sebagai orang partai. Pernah mendapat kepercayaan sebagai Menteri Perhubungan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kemakmuran, Menteri Negara Urusan Perencanaan (sekarang Bappenas), Menteri Keuangan, dan Menteri Pertahanan, sebelum akhirnya menjadi Perdana Menteri.
Selama berkarir di kabinet, banyak pekerjaan besar yang ia lakukan, di antaranya saja melaksanakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, khususnya yang bergerak di bidang perhubungan. Ia pun merancang dan membangun bandara dan pelabuhan-pelabuhan besar, serta maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airways (GIA). Selain itu, pembangunan PLTA Jatiluhur pun adalah hasil rancangannya.
“Saat ini,” ucap Prof. Didi selanjutnya, “kita dalam suasana peringatan 59 tahun Deklarasi Juanda. Kita Bangga menjadi bangsa Indonesia. Banyak prstasi yang sudah diraih. Namun, di balik kesuksesan itu,kita simakgagasan dan pemikiran para founding father kita yang menyatakan bahwa: paham Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah paham kebersamaan atas dasar kekeluargaan.”
Demokrasi Indonesia sebagaimana yang ditegaskan Mochammad Hatta, berbeda dengan demokrasi Barat, walaupun sama-sama berdasar pada kedaulatan rakyat. Demokrasi Barat berdasar pada liberalisme dan kebebasan individualisme. Kedaulatan rakyat Indonesia berdasar pada rasa bersama, ibarat sebuah kehidupan dalam keluarga. Artinya, mengemban paham kebersamaan.
“Gagasan dan pemikiran Juanda pun sama dengan gagasan dan pemikiran founding father kita. Beliau sebagai teknokrat dan ekonom telah mengawal dan pasang badan untuk negara dan bangsa ini,” tegas Prof. Didi.
Lalu Prof. Didi mengingatkan kita akan pidato Bung Karno yang menyatakan: Perjuanganku lebih mudah, karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih sulit, karena melawan bangsamu sendiri.
“Masyarakat Sunda dalam ruang peradaban kebangsaan, tidak lepas dari ruang dan waktu perjalanan jatuh bangunnya bangsa ini, ketika melewati rumit dan perihnya kurungan penjajahan baru,” ucapnya lagi.
Terkait dengan peringatan Deklarasi Juanda ke-59, cukup menarik apa yang disampaikan KSAL Ade Supandi pada akhir pidatonya, “Demikianlah Deklarasi Juanda yang kita peringati setiap tanggal 13 Desember, yang dapat dimaknai sebagai tanggung jawab setiap generasi untuk menjiwai semangat deklarasi tersebut, dan sebagai momentum pembangunan berbasis kemaritiman dengan menempatkanlaut sebagai sumber kesejahteraan bagi bangsa Indonesia, sehingga visi pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dapat terwujud.” (TS)