BANDUNG, unpas.ac.id – Lambang bunyi atau fonem ‘eu’ yang dikenal dalam bahasa Sunda, kini masuk sistem ejaan bahasa Indonesia. Hal ini diputuskan pada Diskusi Kelompok Terpumpun Badan Kemahiran Berbahasa di Jakarta, 10-13 November 2021 lalu.
“Berdasarkan kesepakatan peserta sidang tentang ejaan, sudah diputuskan bahwa ‘eu’ akan masuk ke dalam sistem ejaan bahasa Indonesia,” kata Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Prof. E. Aminudin Aziz.
Pengamat Bahasa sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Seni dan Sastra (FISS) Universitas Pasundan, Drs. Tendy K. Soemantri pernah menelusuri jumlah kata bahasa Sunda yang direkam melalui KBBI daring. Sebagai penutur asli, ia merasakan banyak kejanggalan, namun masih tetap bisa memahaminya.
“Saya terus menelusuri KBBI sampai mata saya terpaku pada satu frasa, kecap lemas. Saya sama sekali tidak mengenali frasa itu dalam bahasa Sunda. Apakah frasa tersebut merupakan kata majemuk untuk nomina ‘kecap (saus bumbu dari kedelai) yang bisa membuat lemas?’ Saya berpikir, memang ada?” katanya.
Setelah diklik, muncul makna ‘kecap lemas’ yang ternyata merupakan penyerapan dari kecap lemes yang berarti kata halus. Lantas, mengapa kata kecap dan lemas yang bisa langsung dipadankan dengan kata dan halus harus diserap dari bahasa Sunda?
Penyerapan ini membuat makna frasa tersebut melenceng karena kata lemas dalam bahasa Indonesia mempunyai arti lain, serta bisa membingungkan pengguna bahasa. Sebagai gambaran, bahasa Sunda dikenal memiliki tingkat bahasa (undak-usuk), yakni basa kasar, basa loma, dan basa lemes.
“Ketiganya ditandai perbedaan kosakata (kecap), yaitu kecap kasar (kata kasar), kecap loma (kata akrab), dan kecap lemes (kata halus). Mungkin, kata lemes dianggap sebagai kata nonbaku dari lemas, seperti bener dan benar atau males dan malas,” jelasnya.
Masalah lain penyerapan kosakata bahasa Sunda dalam KBBI adalah pengadaptasian kata yang mengandung bunyi ‘eu’. Bunyi ‘eu’ diadaptasi menjadi [é] karena bahasa Indonesia tidak memiliki lambang untuk bunyi ‘eu’, seperti geulis-gelis (cantik), keukeuh-kekeh (kukuh, ngotot), aseupan-asepan (kukusan), baheula-bahela (dahulu), atau beunyeur-benyer (menir).
“Penyerapan dengan perubahan penulisan itu justru terasa mengganggu bagi penutur bahasa Sunda yang bterbiasa membedakan bunyi [é], [ê], dan [eu]. Bahkan, pada banyak kata, bunyi [ê], dan [eu] dapat membedakan makna seperti pada bener-beuneur (benar-bernas), peres-peureus (peras-pedih), hideng-hideung (rajin-hitam), atau lebet-leubeut (masuk-lebat),” sambungnya.
Tendy juga pernah membuat survei kecil-kecilan di Facebook tentang kata ‘geulis’ yang ditulis ‘gelis’ dalam KBBI. Hasilnya, warganet merasa terganggu dengan kata ‘gelis’ tanpa ada imbuhan ‘u’. Bahkan salah satu warganet berkomentar agar kata tersebut dihapus dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daripada merusak maknanya.
Masalahnya, kata Tendy, mencabut lema pada KBBI bukan perkara muda. Setiap lema merupakan hasil pendataan dengan metode perkamusan, sehingga tidak sembarangan. Oleh karena itu, penghapusan lema tidak bisa dilakukan semena-mena.
“Kalau sudah begitu, apa yang dapat dilakukan? Apakah entri-entri bermasalah itu akan dibiarkan? Gayung bersambut, dari hasil Diskusi Kelompok Terpumpun Badan Kemahiran Berbahasa, eu diadopsi menjadi vokal bahasa Indonesia seperti a, e, i, o, dan u. Dengan demikian, vokal bahasa Indonesia kini ada enam. Selamat datang eu,” tutupnya. (Reta)*