BANDUNG, unpas.ac.id – Belakangan ini, banyak beredar video pengendara yang marah-marah akibat tidak terima disetop polisi. Begitu pula dengan maraknya kasus dugaan penghinaan berujung permintaan maaf melalui surat bermeterai atau video klarifikasi.
Hal ini direspons oleh Pakar Hukum Unpas sekaligus Dekan Fakultas Hukum Dr. Anthon F. Susanto, SH., M.Hum. Ia menilai, fenomena arogansi mesti dilihat dari dua aspek, yaitu masyarakat dan penegak hukum.
Perilaku tersebut memang tidak bisa dibiarkan terus-menerus, namun bukan berarti hukum harus berlaku secara maskulin, main tindak dan tangkap. Pada situasi tertentu, hukum penting dilakukan dengan pendekatan feminim dan menjadi daya kontrol untuk mengingatkan masyarakat tanpa harus menindak.
“Sikap emosional seperti memaki-maki atau melawan petugas tentu tidak baik. Oleh karena itu, saya memandang dari dua pihak, penegak hukum sebaiknya bisa menahan diri, tetapi tetap tegas. Sedangkan masyarakat dituntut memiliki kesadaran hukum dan nurani untuk menaati aturan,” katanya, Senin (7/6/2021).
Menurutnya, kesadaran masyarakat hanya dapat terwujud jika etikanya tumbuh. Prinsip hukum akan berfungsi apabila nilai agama, moralitas, dan kesusilaan ditegakkan. Sehingga, ketika hukum diterapkan, maka nilai-nilai tersebut akan menunjang.
“Sebaliknya, kalau hukum diberlakukan tapi masyarakat tidak mematuhi nilai-nilai itu, maka cenderung sulit bekerja. Kalau masyarakat kooperatif, maka hukum akan memaknainya sebagai upaya kolaboratif untuk membangun kesadaran,” imbuhnya.
Menanggapi tindakan arogansi atau penghinaan yang berujung permintaan maaf, secara etis ia menyikapinya sebagai hal yang bagus dan perlu dibangun, terutama sikap untuk mau mengakui kesalahan.
“Alangkah lebih baik lagi kalau masyarakat sepenuhnya sadar dan tidak mengulangi kembali. Toh, mereka tidak melakukan kejahatan atau perbuatan yang luar biasa. Silakan ditindak, tapi dalam batas yang soft. Bagaimana caranya membuat masyarakat jera dan penegak hukum bisa mengantisipasi agar tidak ada kejadian serupa,” jelasnya.
Tidak dipungkiri, kendati pihak bersangkutan sudah meminta maaf, tetapi banyak masyarakat yang belum dapat menerimanya. Bahkan, hukum dianggap lemah dan tidak mampu memberikan sanksi yang tegas.
Ia menganggap, sejauh tindakan yang dilakukan bukan pelanggaran berat seperti extraordinary crime, korupsi, dan sebagainya, hanya perlu pembelajaran, membangun kesadaran, dan membudayakan hukum. Saat ini, budaya hukum masyarakat masih sangat lemah, sehingga perilaku minta maaf dinilai belum cukup.
“Menurut saya, yang paling utama dalam upaya penegakan hukum adalah membentuk budaya hukum, salah satunya budaya contoh. Hukum itu sifatnya mendamaikan, memberikan keadilan dan manfaat,” ujarnya. (Reta Amaliyah S)*