Dr. H. Deden Ramdhan M.Si.,CICP,DBA
Wakil Rektor III Universitas Pasundan
dan Komda Priangan Kulon Paguyuban Pasundan
Fenomena kerajaan fiktif terus bermunculan, tiga kerajaan fiktif baru muncul di tengahtengah masyarakat. Pertama, Keraton Agung Sejagat yang disusul dengan kemunculan
Sunda Empire. Kerajaan ketiga muncul dan viral di masyarakat, yakni bernama King of The King yang mengklaim bisa melunasi utang Indonesia dan memiliki kekayaan sebesar Rp 60.000 triliun.
Belakangan, media sosial Youtube kembali diramaikan oleh keberadaan Negara Rakyat Nusantara yang mengusulkan agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibubarkan.
Sebenarnya fenomena kerajaan fiktif bukanlah hal baru di Indonesia. Pasalnya, kerajaan fiktif juga pernah muncul pada masa pemerintahan Presiden pertama Indonesia, Soekarno bahkan Bung Karno sempat tertipu dengan pengakuan Raja Idris dan Ratu Markonah yang mengaku sebagai raja pedalaman di wilayah Lampung. Namun, kebohongan raja dan ratu akhirnya terbongkar karena si ratu Markonah keceplosan menggunakan bahasa Jawa. Dengan kata lain penulis menilai fenomena kerajaan-kerajaan fiktif tersebut disebabkan tradisi di Indonesia yang memang pernah memiliki banyak raja. Indonesia tidak terlepas dari sejarah penyatuan-penyatuan kerajaan se-Nusantara untuk bergabung menjadi negara modern di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena sebetulnya negeri dengan beragam kerajaan yang kemudian melebur yang para pendiri negeri ini berhasil menyatukan dengan sebuah cita-cita sebuah bangsa modern. Penulis menilai fenomena raja-raja baru yang muncul bisa disebabkan berbagai motif mencari ketenaran. Era internet dan informasi yang dengan cepat menyebar bisa memberikan kesempatan orang-orang yang ingin namanya cepat melambung tinggi. berdasarkan ilmu psikologi, fenomena kerajaan fiktif seperti munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah serta Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat, biasanya dimunculkan oleh orang yang mengalami delusi keagungan (grandiose delusion). (Koentjoro 2020)
Keberhasilan para penggagas kerajaan fiktif untuk menggaet pengikut karena didukung dengan penguasaan psikologi massa sehingga mampu mempengaruhi atau meyakinkan orang lain. Cerita-cerita yang disampaikan di tengah kumpulan massa mampu mereka kemas secara menarik sehingga membuat hal-hal yang tidak ada seolah nyata. Kemampuan itu berpeluang menghipnotis orang lain memutuskan menjadi pengikutnya Itulah suatu kekuatan psikologi massa sehingga orang dengan mudah percaya dengan apa yang dikemukakan. (Koentjoro,2020).
Sementara itu, dari sisi para pengikutnya, mereka tak selalu dilandasi motif ekonomi. Buktinya, merujuk fenomena Kerajaan Agung Sejagat, para pengikutnya rela mengeluarkan sejumlah uang sekadar untuk membeli seragam sebagai syarat keanggotaan.
Keputusan menjadi pengikut, bisa dipengaruhi sejumlah faktor, salah satunya berkaitan dengan post power syndrome. Banyak di antara mereka orang-orang tua yang dulu punya jabatan tertentu yang tidak terlalu tinggi yang kemudian ketika pensiun di rumah tidak ada siapa-siapa yang bisa diperintah lalu dia menggabungkan yang ada di situ.
Jadi sepertinya ada dua hal yang harus dilihat di balik maraknya fenomena ini, yaitu motif dan tren meningkatnya ketidakpercayaan publik. Menurut dia, kemunculan Keraton Agung Sejagat memiliki motif yang berbeda dibandingkan dengan tiga kerajaan fiktif lainnya. Kerajaan Agung Sejagat memiliki motif ekonomi. Diduga muncul akibat menguatnya tren ketidakpercayaan publik terhadap sejumlah pihak, mulai dari pemerintah, media hingga atasan mereka di kantor. Masyarakat cenderung percaya dengan hal-hal yang berbau konspiratif, spekulatif dan mistis untuk menjawab segala rasa penasaran mereka secara singkat. Tren seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Termasuk negara barat yang memiliki pola pikir serta kemampuan finansial yang lebih baik dibandingkan masyarakat Indonesia.
Penelitian Cambridge di sembilan negara selama enam tahun menunjukkan ternyata masyarakat barat sendiri, masyarakatnya juga semakin percaya dengan hal-hal yang sifatnya konspiratif, tidak rasional. Artinya, kita tidak bisa bilang bahwa masyarakat kita adalah bangsa atau masyarakat yang terbelakang. Ini tidak ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan, ekonomi, suku, agama dan ras. Tapi ini lebih terkait pada kondisi, satu, sosial politik masyarakat, dua, kemanusiaan masyarakat itu sendiri,” imbuh (Devie.Rahmawati 2020) “Kalau secara umum, dalam literatur sosiologi, ada terminologi neotribalism. Jadi munculnya orang-orang yang punya Perkumpulan dencian emosi sendiri, dencian ciri-ciri, pola pikir, emosional sendiri Imam mengatakan, dalam literatur sosiologi, neotribalisme dicontohkan dengan pendukung fanatik sepakbola dan geng-geng. Selain kesamaan emosi dan pola pikir, dalam komunitas tersebut ada eksklusivitas dan hierarki. (Imam B Prasodjo,2020)
Namun, neotribalisme tumbuh karena dalam solidaritas yang kemudian ditambahkan narasi-narasi. Untuk kasus kerajaan fiktif, mitologi cerita kerajaan jadi pembungkus narasi dan narasi-narasi atau pemaknaan-pemaknaan yang bersumber dari campuran yang sebenarnya tidak jelas sumbernya. Tapi orang senang saja membuat cerita. Ini campuran dari pengetahuan modern dan tradisional tapi bukan kajian akademis. Makanya ceritanya menjadi sulit masuk logika seperti kemunculan secara tiba-tiba Kekaisaran matahari itu.
Zaman sekarang informasi maupun berita tersebar begitu banyak dan mudah didapat. Namun, tak semua informasi dan berita tersebut berisi informasi yang valid. Dalam situasi tersebut, ada pihak yang memanfaatkan kebingungan masyarakat atas lubernya informasi dan berita. Hingga kemudian kondisi ini disisipi motivasi mendapatkan keuntungan ekonomi, dengan itu mereka mengumpulkan uang. Sama seperti rencana kegiatan informal warga hanya ini diberi makna tertentu yang kadang maknanya kadang-kadang anehaneh. Jadi proses awalnya orang ini senang berkumpul. Kemudian ada aktor tertentu ada ideolog yang serius mempersuasi dengan iming-iming atau bahkan ancaman tertentu sehingga kemudian orang tertarik.
Untuk mencegah fenomena kerajaan atau keraton palsu muncul kembali penulis berharap pemerintah dan masyarakat bersinergi untuk meningkatkan daya kritis masyarakat melalui sistem pendidikan yang mendorong partisipasi publik dalam memahami hak dan kewajibannya secara proporsional sehingga adanya sikap kritis dalam memahami sebuah fenomena. Sebab fenomena munculnya kerajaan fiktif ini tampaknya merupakan antitesis dari apa yang disebut dengan sindrom kleptomania budaya. Sindrom ini sendiri muncul bukan tanpa sebab. Kehadiran kerajaan ini muncul bak jamur di musim hujan seakan-akan menjadi kritik bagi keberjalanan pemerintah saat ini yang tidak kalah feodal. Patronase politik yang memiliki dampak merusak bagi demokrasi yang selalu digaungkan itupun tidak kalah menjadi faktor penentu munculnya kerajaan fiktif ini.
Dalam perspektif lain penulis menilai fenomena kemunculan Sunda Empire dan Keraton Agung Sejagat sebagai gerakan sosial sebab terlihat para pengikut dan pendiri gerakan sosial biasanya percaya pada teori konspirasi dan pseudo science.
Mereka juga tidak puas pada tatanan dunia sekarang dan tatanan sosial politik ekonomi di daerah tempat tinggalnya, serta punya ambisi sosial politik ekonomi yang tidak atau belum tercapai, paparnya. Lalu mereka memimpikan munculnya kembali kejayaan masa lalu yang mereka anggap sebagai kehidupan yang paling baik untuk diterapkan kembali pada kehidupan sekarang pasalnya, kebudayaan dan kehidupan sosial itu dinamis bisa dianggap wajar-wajar saja tergantung penyikapan publik dan dampaknya terhadap masyarakat jadi bukan hal aneh pula bila mereka suka memakai simbol kaisar Sebab, dalam perspektif antropologis, simbol itu adalah great tradition yang sejauh ini menjadi simbol figure central of culture dalam berbagai kebudayaan di Nusantara. Cara seseorang mengaitkan dirinya dengan tokoh besar di masa lalu, sering dilakukan orang di Indonesia untuk mencari legitimasi politiknya.dengan mengaitkan leluhurnya dengan Siliwangi, Raja Pajajaran, dan atau mengaitkan dirinya dengan Brawijaya, Raja Majapahit dan lain-lain dan mengenai sejarah Sunda Empire yang diuraikan Rangga, klaim tersebut sepettinya merupakan suatu pseudo science yaitu belum ada fakta jelas atau fakta pendukung dengan dilengkapi dengan data yang memadai.
Dengan demikian maraknya kerjaan fiktif di negeri ini seyogyanya harus dibaca dalam berbagai perspektif disiplin ilmu dengan berbagai motif dan latar belakang yang berbeda selebihnya adalah selain diperlukan semacam literacy society yaitu masyarakat yang melek informasi dan pengetahuan sehingga dapat memilah dan memilih informasi-informasi yang benar, tepat, akurat dan sahih juga dibutuhkan kesadaran bersama antar elemen bangsa dimulai dari pengelola pemerintahan yang harus senantiasa melakukan diseminasi informasi, unsur infrastruktur politik termasuk kalangan dunia pendidikan, organisasi kemasyarakatan fungsional dan media massa arus besar yang dituntut untuk menjelaskan tentang bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan yang pernah hadir di Negara ini sekaligus untuk menangkal munculnya fenomena kerajaan fiktif ini. Semoga.***