BANDUNG, unpas.ac.id – Dalam dua tahun terakhir, mata uang kripto atau cryptocurrency kian populer di Indonesia dan dunia internasional. Kripto merupakan mata uang digital atau virtual yang dijamin dengan kriptografi.
Hal ini membuat kripto hampir tidak mungkin untuk dipalsukan atau digandakan. Beberapa mata uang kripto yang beredar antara lain Bitcoin, Litecoin, Peercoin, Namecoin, Ethereum, dan sebagainya.
Sementara itu, Bank Indonesia kini juga tengah merumuskan pembuatan mata uang Central Bank Digital Currency (CBDC). Nantinya, CBDC besutan BI akan diberi nama rupiah digital.
BI menyebut, inisiasi penerbitan rupiah digital bukan dikarenakan perkembangan cryptocurrency yang belakangan menjaring jutaan investor aset kripto, melainkan kesepakatan bersama antara bank sentral di seluruh dunia.
CDBC tidak sama dengan kripto. Peredaran CBDC akan dikontrol oleh bank sentral dan bisa digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk menggantikan uang kartal.
Menanggapi potensi digital currency dan cryptocurrency terhadap perekonomian, dosen sekaligus Sekretaris Prodi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Ardi Gunardi, SE., M.Si., CSRS., CSRA. mengatakan, keduanya muncul seiring dengan tuntutan era digitalisasi.
“Perubahan tersebut tidak hanya dari sisi mata uang, tapi hampir di segala aspek. Inilah yang kerap menimbulkan resistensi dari masyarakat, walaupun seiring berjalannya waktu pasti akan diterima,” katanya di podcast Unpas Talk episode 12, Jumat (28/1/2022).
Ardi menilai, resistensi justru membuat masyarakat mempelajari mekanisme, benefit, kerugian, dan risikonya. Dengan demikian, ketika digital currency muncul, masyarakat sudah benar-benar paham instrumen-instrumen di dalamnya.
Mata uang digital tidak sepenuhnya menjamin keamanan transaksi atau penyimpanan, begitu pula dengan mata uang konvensional. Baik digital currency maupun mata uang konvensional, keduanya mesti dijaga kerahasiaannya.
“Dibanding uang konvensional, kalau aset digital hilang memang diklaimnya agak sulit, karena aturan pemerintah terkait digital currency belum tersosialisasi dengan baik, sehingga berpengaruh terhadap product knowledge masyarakat,” jelasnya.
Menurut Ardi, melejitnya popularitas cryptocurrency bisa dilihat dari dua hal. Pertama, kesadaran masyarakat untuk beralih ke aspek digital. Kedua, berkaitan dengan psikologi manusia.
“Manusia umumnya ingin meningkatkan status atau tren. Jadi ada yang bermain kripto karena betul-betul paham, ada juga yang hanya demi gaya hidup,” ujarnya.
Cryptocurrency memiliki beberapa karakter, di antaranya distribusinya dicatat menggunakan kriptografi untuk jaminan, bukan diterbitkan oleh otoritas berwenang, serta tidak ada perjanjian atau akad antara pemegang dengan pihak lainnya.
Berdasarkan karakteristik tersebut, maka kripto bukanlah instrumen keuangan karena tidak memenuhi kriteria sebagai aset keuangan.
“Namun, kripto memenuhi definisi sebagai aset tak berwujud, yaitu aset nonmoneter yang teridentifikasi tanpa wujud fisik. Kripto juga dapat dipisahkan dari pemiliknya dan diperjualbelikan atau ditransfer secara individual,” tutupnya. (Reta)*