BANDUNG, unpas.ac.id – Peringatan Hari Ibu setiap 22 Desember tak lepas dari refleksi sejarah perjuangan pemenuhan hak-hak perempuan yang didasarkan pada Kongres Perempuan Indonesia, 22 – 25 Desember 1928 silam.
Kongres tersebut masih berkaitan dengan menguatnya semangat kebangsaan pasca Sumpah Pemuda yang berlangsung dua bulan sebelumnya. Keprihatinan terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan juga mengemuka, seperti perkawinan usia dini, poligami, dan KDRT.
Bagi Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Kesehatan Masyarakat Paguyuban Pasundan sekaligus Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran Universitas Pasundan dr. Hj. Alma Lucyati, M.Kes., M.Si., MH.Kes, memaknai dan memperingati Hari Ibu tidak perlu dilakukan dalam bentuk gebyar maupun selebrasi.
“Hari Ibu mengingatkan kita akan kodrat perempuan dan peran ibu. Makna seorang ibu tidak boleh dilupakan meski sekarang kita berada di era 4.0. Ibu merupakan pendidik pertama keturunan kita, dan menjadi orang yang mempersiapkan generasi masa depan mulai dari unit terkecil,” ujarnya.
Berbeda dengan masa kemerdekaan, peringatan Hari Ibu saat ini akan lebih tepat jika dimaknai untuk memecahkan problematika hidup sehari-hari, di antaranya permasalahan yang dihadapi kaum perempuan.
Merujuk pada data yang ada, rata-rata lama pendidikan anak perempuan di Indonesia belum memenuhi wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas). Menurutnya, hal ini sangat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, serta kesiapan perempuan menghadapi persaingan global.
“Suka tidak suka, perempuan mesti berhadapan dengan persaingan global. Jadi, di samping mengajari dari unit terkecil, perempuan juga harus peka dan mempelajari apa yang akan terjadi di sekitar kita. Pintu informasi semakin terbuka, maka jangan sampai budaya kita terkikis,” katanya.
Perempuan berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi dengan harapan ia mampu membentengi dirinya, keluarga, lingkungan, bahkan negara. Perempuan masa kini dituntut untuk berjuang lebih keras, sehingga bisa menjaga dan membuka diri, serta menambah wawasan melalui jenjang pendidikan yang semestinya.
“Perempuan adalah tiang keluarga dan tiang pendidikan. Perempuan berperan menjaga pintu informasi dengan norma dan pendidikan yang dianutnya untuk menjadikan generasi berikutnya lebih baik lagi supaya bisa bersaing dengan negara lain. Tapi, ini tidak dapat dilakukan sendiri, butuh keterlibatan dan sinergi bersama,” sambungnya.
Mengingat koor Paguyuban Pasundan mendominasi bidang pendidikan, program yang dijalankan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Kesehatan Masyarakat Paguyuban Pasundan juga mengikuti jalur pendidikan.
“Kami fokus menginformasikan, memberi akses kemudahan pada perempuan untuk tetap belajar, serta membuka kesempatan bagi perempuan untuk bergerak lebih aktif dan mencapai kedudukan tertentu agar bisa melakukan pemberdayaan masyarakat,” jelasnya.
Disinggung soal kasus pelecehan seksual yang akhir-akhir ini tengah marak, ia terus mendorong kaum perempuan untuk membentuk diri sebagai pribadi yang tangguh, berani mengatakan tidak, bergerak melawan, dan memperkuat lingkungan.
“Kalau perempuan kuat, pasti oknum-oknum semacam itu juga tidak akan berani. Tentunya tidak hanya menuntut perempuan, tapi laki-laki juga harus dididik sebaik mungkin, jadi dia bisa mengekang hawa nafsunya dan menjauhi hal-hal yang mengarah pada pelecehan seksual,” tegasnya.
Terakhir, ia berpesan kepada kaum perempuan agar sedikit meluangkan waktu untuk belajar dan mencari ilmu. Dengan pengetahuan yang cukup, perempuan bisa meningkatkan kemampuan diri, ekonomi, dan mewujudkan visi misi keluarga. (Reta)*