BANDUNG, unpas.ac.id –Rencana pemerintah untuk memperpanjang masa PPKM Darurat Jawa-Bali hingga enam minggu, dinilai akan semakin memperparah kondisi masyarakat. Terlebih, lesunya pertumbuhan ekonomi sudah dirasakan sejak awal diterapkannya PPKM Darurat, 3 Juli 2021 lalu.
Menurut Pengamat Ekonomi Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi, jika PPKM Darurat diperpanjang, maka tingkat konsumsi dan permintaan masyarakat berpotensi turun. Kondisi ini juga bakal memengaruhi lapangan dan sektor-sektor usaha.
“Ini tentu berpengaruh pada penggunaan tenaga kerja dan kemampuan sektor usaha yang berkaitan dengan kewajiban keuangan, pembayaran kredit, dan sebagainya. Kian besarnya dampak penurunan ekonomi yang dirasakan masyarakat bergantung pada berapa lama masa perpanjangan PPKM Darurat,” ujarnya, Senin (19/7/2021).
Buntut penerapan PPKM Darurat, berdasarkan informasi yang ia peroleh dari asosiasi perusahaan dan pengusaha, beberapa di antaranya bahkan berencana melakukan PHK terhadap tenaga kerjanya.
“Jika sampai terjadi, saya kira sangat berbahaya bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Adanya penurunan jumlah tenaga kerja dan aktivitas di sektor perdagangan tidak hanya memengaruhi permintaan, tapi juga suplai,” lanjutnya.
Ia memprediksi, apabila PPKM Darurat diperpanjang, sedikitnya lima dari 17 sektor perekonomian akan mengalami dampak cukup parah. Sektor tersebut yaitu perdagangan besar dan eceran, transportasi dan pergudangan, industri dan manufaktur, konstruksi, serta jasa akomodasi dan makan minum, seperti hotel dan restoran.
Meski saat ini banyak hotel yang telah beralih fungsi dengan membuka layanan isolasi mandiri, namun dirasa belum cukup untuk mengembalikan arus kas seperti sebelum diterapkannya PPKM Darurat.
“Upaya solutif dan paling rasional yang mesti dilakukan pemerintah yakni mengoptimalkan bantuan untuk masyarakat. Misalnya memberikan jaring pengaman sosial atau bansos, terutama bagi keluarga yang kemampuan ekonominya terbatas. Juga kepada pelaku UMKM yang sulit beraktivitas karena pembatasan,” katanya.
Di samping bantuan sosial, pemerintah juga harus mulai melakukan digitalisasi. Pola digitalisasi memang tidak cepat dan mudah diimplementasikan, namun pada kondisi mendesak perlu didorong sesegera mungkin.
“Melalui pengaplikasian digitalisasi, ada banyak hal yang mungkin bisa dilakukan. Sehingga, meskipun mobilitas konsumen berkurang, tapi dengan pola digitalisasi kita tetap bisa mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Selain itu, penetapan SOP bagi sektor usaha tertentu untuk dapat beroperasi di masa PPKM Darurat juga semestinya dilonggarkan. Misalnya sektor usaha yang tidak bersinggungan langsung dengan konsumen dan mampu memastikan bahwa kegiatan operasionalnya menerapkan protokol kesehatan ketat.
Acuviarta pun turut menyoroti munculnya wacana pemerintah tentang kebijakan 15 hari kerja dalam sebulan bagi buruh sebagai antisipasi terjadinya PHK massal. Menurutnya, kebijakan ini diperkirakan hanya bersifat situasional, sebab korelasinya sangat erat dengan penyesuaian upah dan pemerintah belum memberikan opsi kepastian mengenai hal tersebut.
“Kalau kebijakan itu tidak dibarengi dengan kepastian dari pemerintah terkait besaran upah, maka saya rasa akan mengakibatkan situasi yang lebih parah lagi di masyarakat. Kondisi ini harus dicermati dengan hati-hati karena banyak korelasinya. Jangan sampai skema kerja 15 hari justru menjadi bagian dari skema PHK tenaga kerja yang sesungguhnya,” pungkasnya. (Reta)*