BANDUNG, unpas.ac.id – Pandemi membuat sebagian orang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan mengurangi aktivitasnya. Meski membatasi interaksi dan mobilitas, namun sebaiknya pandemi tidak dijadikan alasan untuk mager atau malas gerak.
Berkurangnya aktivitas di kala pandemi, terlebih saat puasa Ramadan, tentu tidak baik bagi kesehatan. Hal ini dikatakan Pakar Kesehatan sekaligus Wadek III Fakultas Kedokteran Unpas dr. Trias Nugrahadi. Ia mengatakan, olahraga tetap harus dilakukan supaya tubuh tetap bugar, walaupun tengah berpuasa.
Ketika puasa, olahraga akan efektif dilakukan setelah subuh karena tubuh masih menghasilkan energi yang dimakan saat sahur. Dokter menganjurkan untuk melakukan olahraga yang low impact, seperti jalan kaki, joging, dan senam ringan, agar energi tidak terbuang terlalu banyak.
“Olahraganya jangan berat-berat, cukup yang low impact atau ringan saja. Jangan olahraga yang ada lawan, pasti lelah karena biasanya ada hasrat untuk menang. Olahraga ringan ini dapat dilakukan setelah subuh, sebab pencernaan masih punya energi dari makanan sahur,” katanya di Kampus V Unpas, Jalan Sumatera No 41, Bandung, Selasa (20/4/2021).
Jika makanan yang dikonsumsi sudah memenuhi keseimbangan gizi, maka energi saat sahur akan bertahan selama 8 jam. Setelah pukul 12, tubuh baru mengambil energi dari cadangan lemak. Pada saat inilah, puasa dinilai bagus untuk menurunkan berat badan, kolesterol, dan risiko sakit jantung.
Selain olah raga, pola makan serta jenis makanan yang dinikmati saat sahur dan berbuka juga harus diperhatikan. Jika makanan dan pola makan tidak diatur, maka dikhawatirkan akan timbul efek yoyo. Saat puasa, berat badan cenderung lebih mudah turun, tetapi juga cepat naik kembali, bahkan drastis.
“Pada saat puasa, di minggu pertama berat badan bisa turun sampai 1,5 Kg karena pencernaan istirahat. Minggu selanjutnya lebih lambat, turun 1 Kg. Minggu ketiga ½ Kg. Nah, di minggu keempat sudah mulai adaptasi, sehingga tidak ada penurunan. Selesai puasa, berat badan bisa naik lagi karena pola makan mulai tidak teratur. Ini namanya efek yoyo, turunnya sedikit, tapi naik lebih banyak,” jelasnya.
Setelah puasa Ramadan usai, pola makan perlu disesuaikan kembali, salah satunya dengan menjalankan puasa syawal selama 6 hari. Puasa syawal bertujuan untuk mengadaptasikan tubuh dan pola makan.
“Kita tetap beradaptasi, jangan sampai withdraw. Kalau kita puasa syawal, penurunan akan terjadi secara gradual, jadi pembiasaan makan tidak langsung berubah menjadi beban untuk pencernaan,” katanya.
Perlunya dibuat pola makan dan menjaga asupan makanan bertujuan agar tubuh tidak kaget dengan perubahan biokimia yang lebih berat. Kesalahan mengatur pola makan setelah puasa berakibat pada kenaikan berat badan dan berpotensi terkena kolera, disentri, diare, bahkan struk dan jantung.
Menurut dr. Trias, yang terpenting selain olahraga dan menjaga pola makan adalah berusaha tetap gembira. Rasa gembira akan menghasilkan endorfin, sehingga ada hormon kesenangan dalam tubuh yang berfungsi memengaruhi metabolisme.
“Puasa ini sangat baik asal olahraga berikut pola makan saat sahur maupun buka terjaga. Puasa membuat metabolisme tubuh menjadi bagus. Oleh karena itu, keseimbangan tersebut harus selalu diperhatikan, apalagi di tengah pandemi,” tutupnya. (Reta Amaliyah S)*