BANDUNG, unpas.ac.id – Masyarakat Indonesia sedang dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman seperti di rumah sakit. Dalam waktu berdekatan, dua kasus mencuat ke publik.
Pertama pemerkosaan yang dilakukan dokter PPDS (Pendidikan Profesi Dokter Spesialis) terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Kedua kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dokter kandungan yang ada di Garut.
Maraknya kasus kejahatan seksual yang belakangan ini terjadi di berbagai ruang publik dan privat menimbulkan pertanyaan besar: apakah hukum di Indonesia sudah cukup tegas dalam menangani kasus-kasus tersebut?
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pasundan (Unpas) Prof. Dr. Anthon F. Susanto, M.Hum., menyampaikan pandangannya bahwa kehadiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) merupakan kemajuan signifikan dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia.
“Ini adalah momentum penting dalam perjalanan hukum kita. Undang-undang ini tidak hanya menggantikan pendekatan lama yang bergantung pada KUHP, tetapi juga memperkenalkan paradigma baru yang lebih berpihak pada korban,” ujar Prof. Anthon dalam wawancaranya di Sampurasun TVRI Jawa Barat yang dikutip pada Jumat (18/4/2025).
Menurutnya, UU TPKS hadir dengan semangat untuk menyeimbangkan perlindungan antara korban dan pelaku, serta memperkuat peran aparat penegak hukum dalam pencegahan dan penanganan kejahatan seksual. Salah satu hal yang menjadi perhatian utama adalah pemberian restitusi dan rehabilitasi bagi korban, baik dari segi medis maupun psikologis.
“Meski baru berjalan dua tahun, undang-undang ini akan diuji efektivitasnya ketika dihadapkan pada berbagai kasus di masyarakat. Justru dari sini kita bisa melihat apakah instrumen hukum ini cukup kuat atau masih menyisakan banyak celah,” jelasnya.
Prof. Anthon juga menyoroti bahwa lahirnya undang-undang ini merupakan hasil perjuangan panjang, terutama karena banyaknya ruang-ruang yang seharusnya aman seperti rumah sakit dan kampus justru malah menjadi lokasi terjadinya kekerasan seksual.
“Yang terungkap ke publik mungkin hanya sebagian kecil. Kita melihat bagaimana pasien di rumah sakit, yang seharusnya mendapatkan perlindungan maksimal, justru malah menjadi korban,” katanya.
Ia menekankan pentingnya pengawasan dan tanggung jawab institusi, seperti rumah sakit, untuk menjamin keamanan pasien dari potensi kejahatan seksual. Menurutnya, kasus-kasus seperti ini menunjukkan masih lemahnya sistem pengawasan internal.
Terkait celah hukum yang kerap dimanfaatkan pelaku, seperti dalih gangguan kejiwaan, Prof. Anthon menilai bahwa sistem hukum dan kedokteran saat ini sudah semakin canggih untuk memverifikasi kondisi psikologis pelaku secara objektif.
“Kondisi mental bisa menjadi pertimbangan, tapi tidak serta merta bisa menjadi alasan untuk lepas dari jerat hukum,” tegasnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara proses hukum terhadap pelaku dan perhatian terhadap korban. “Proses hukum harus aktif dan transparan. Pengawalan terhadap korban harus menjadi prioritas, agar korban benar-benar mendapatkan perlindungan dan pemulihan secara menyeluruh,” tutup Prof. Anthon. (Rani)
