BANDUNG, unpas.ac.id – Mahasiswa dan masyarakat diberbagai wilayah Indonesia melakukan demo untuk menentang Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada. Aksi tersebut dilakukan mahasiswa dan masyarakat karena RUU yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Diketahui, RUU Pilkada mengusulkan agar tetap mempertahankan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD. Sedangkan keputusan MK adalah menganulir ambang batas tersebut serta menggantinya dengan berdasarkan jumlah penduduk.
RUU yang diusulkan DPR yakni tetap mempertahankan ambang batas lama untuk partai yang mempunyai kursi di DPRD. Sementara untuk partai yang tidak memiliki kursi mengikuti keputusan dari MK.
Poin lainnya yang menjadi sorotan adalah mengenai batas usia calon kepala daerah. DPR mengusulkan batas usia calon Gubernur adalah 30 tahun dan batas usia calon Wali Kota/Bupati adalah 25 tahun ketika resmi dilantik.
RUU yang diusulkan DPR tersebut bertentangan lagi dengan keputusan MK yang menyatakan bahwa batas usia minum calon Gubernur tetap 30 tahun dan calon Wali Kota/Bupati tetap 25 tahun. Usia ini dihitung ketika ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon, bukan saat dilantik.
Keputusan dari DPR ini dinilai berusaha mengabaikan putusan dari MK. Setelah aksi demo yang dilakukan oleh beberapa kelompok mahasiswa dan masyarakat, pengesahan RUU Pilkada itu akhirnya ditunda.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Dr. Kunkurat, M.Si. mengatakan jika Badan Legislatif DPR terus melanjutkan RUU ini, maka akan membuat kegaduhan semakin meluas.
“Seandainya Baleg DPR melanjutkan keinginannya untuk melakukan revisi UU Pilkada, maka diprediksi gerakan civil society akan bergema di mana-mana. Bukan tidak mungkin akan menjadi gerakan rakyat yang sangat besar,” kata Dr. Kunkun dalam keterangannya yang diterima, Sabtu (24/8/2024).
Dr. Kunkun menjelaskan peran civil society merupakan gerakan demonstrasi yang dilakukan kalangan mahasiswa di berbagai daerah. Serta suara-suara menentang yang disampaikan kalangan akademisi.
Sadarkan Masyarakat Fenomena Hukum dan Politik di Indonesia
Ia menyebut keputusan DPR yang nyaris mengabaikan keputusan MK bisa dijadikan pelajaran bagi para generasi muda dan para akademisi.
“Dinamika politik kemarin merupaka suatu pendidikan politik berharga. Selain itu dinamika politik kemarin adalah momentum aplikatif yang menjadi pendidikan politik untuk anak-anak muda. Sekaligus hal ini menyadarkan masyarakat akan fenomena hukum dan politik di Indonesia,” katanya.
Putusan MK yang hampir saja diabaikan oleh DPR menurutnya secara substansi sangat berbau politik seolah hanya untuk mengakomodir kepentingan seseorang atau pihak tertentu.
“Karena RUU Pilkada bertentangan dengan putusan MK yang sifatnya final dan mengikat. Itu bisa menjadi tantangan untuk proses demokrasi,” ujarnya.
Pengamat politik Unpas ini setuju apabila Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai operator atau user UU Pilkada tetap berpegangan dan mengikuti putusan MK sebagai hierarki keputusan tertinggi di Indonesia. Dr. Kunkun menyarankan KPU segera menindaklanjutinya dengan mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Pilkada. (Rani)*
