BANDUNG, unpas.ac.id — Saat ini berbagai pemberitaan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh profesi dokter muncul ke permukaan. Profesi yang seharusnya menjunjung tinggi kemanusiaan, menjadi salah satu cara untuk melakukan kejahatan.
Dosen Bioetika Humaniora dan Hukum Kesehatan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Pasundan (Unpas) dr. Steffi Rifasa Tohir Suriaatmadja, M.H. menyampaikan dalam sebuah hubungan dokter pasien, hubungan tersebut pada hakikatnya ialah sebuah hubungan yang berlandaskan kepercayaan.
“Akan tetapi, saat kepercayaan tersebut disalahgunakan, maka ruang kesempatan untuk melakukan tindakan kriminal menjadi terbuka,” katanya.
Dalam Kode Etik Kedokteran, dr. Steffi menjelaskan salah satu pasalnya yaitu Pasal 5 berbunyi, “Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut”.
Jelas dalam ayat tersebut dikatakan, bahwa perbuatan dan nasihat yang dilakukan oleh dokter, pada dasarnya harus mempunyai persetujuan terlebih dahulu dari pasien dan atau keluarga, bahkan bukan hanya sepersetujuan keluarga tapi juga tindakan tersebut mempunyai alasan untuk kepentingan dan kebaikan pasien.
“Ayat tersebut hanya salah satu dari pasal lain yang isinya menyatakan bahwa kepentingan pasien ialah hal yang harus diutamakan bagi profesi dokter,” ujarnya.
Etika Kedokteran Sebagai Pedoman
Ia mengatakan Kode Etik Kedokteran tersebut hadir sebagai sebuah harapan. Kehadirannya menjadi sebuah pedoman sikap, tindak dan perilaku dokter Indonesia saat ini. Di dalamnya dijelaskan dasar acuan moral dan etika seseorang ketika menjalankan sebuah profesi dokter. Bagaimana jika ternyata tetap terdapat kasus pelanggaran?
Dosen FK Unpas ini menerangkan Organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan juga Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) menjadi wadah pelaporan bagi masyarakat. Kedua organisasi tersebut menjadi sarana pengaduan jika ditemukannya sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh dokter. Jika dokter tersebut melakukan pelanggaran hukum, maka dokter tersebut akan dikenakan sesuai sanksi pidana dan perdata yang berlaku sesuai hukum positif Indonesia.
Bagaimana dengan kasus jika seorang dokter melakukan pelecehan seksual? Dr. Steffi menjelaskan keadaan tersebut bukan hanya seorang dokter telah melakukan pelanggaran etik, tapi juga masuk kepada pelaggaran hukum.
“Seharusnya sanksi yang sesuai dengan ketentuan hukum dapat dikenakan. Berbagai tindakan kriminal yang dilakukan oleh dokter saat ini, secara tidak langsung memberikan efek terhadap citra profesi. Profesi dokter yang diharapkan sebagai profesi yang amanah, bisa menimbulkan ketidak percayaan dari pasien atau keluarga pasien,” terangnya.
Bagaimana Meminimalisir Pelecehan Seksual di Rumah Sakit?
Guna meminimalisir kejadian pelecehan seksual atau kejadian kriminal lainnya, menurutnya dokter dan pasien sebaiknya sama-sama menegakan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
“Salah satu yang dapat diupayakan contohnya ialah, saat melakukan pemeriksaan, terutama pemeriksaan dengan resiko tinggi, maka dokter sebaiknya didampingi oleh tenaga kesehatan lain seperti perawat. Ataupun sebaliknya, pasien yang akan melakukan pemeriksaan baik dokter yang dijumpai sama ataupun berbeda jenis kelamin, ada baiknya didampingi oleh keluarga yang sah secara hukum seperti orang tua atau pasangan sah,” kata dr. Steffi.
Kejadian pelanggaran kriminal yang saat ini terjadi, meninggalkan pertanyaan, apakah sebetulnya pendidikan kedokteran melakukan pengajaran terkait etika profesi?
Sampai saat ini, dr. Steffi mengatakan di dalam kurikulum pendidikan kedokteran, mempunyai pengajaran yang khusus mempelajari dan mengkaji etika profesi, dengan harapan kedepannya para dokter dengan pembekalan tersebut menjadi dokter yang berintegritas dalam menjalankan profesinya.
“Ketika seorang dokter mempelajari hal tersebut, tujuan akhirnya adalah dokter dapat menempatkan kepentingan pasien diatas segala keputusan dan tindakan dokter. Kepentingan pasien tersebut diterapkan oleh dokter dengan adil bahkan kepada pasien yang mungkin masuk kepada kategori vulnerable atau rentan sekalipun,” katanya.
Menurutnya jika pendidikan dalam bentuk pengenalan bahkan pengaplikasian nilai-nilai, etika profesi tersebut dapat diberikan sejak dini, yaitu jenjang mahasiswa, mempunyai harapan agar pelaksanaan etika profesi menjadi lebih baik kedepannya.
“Para calon dokter terbiasa dengan paparan nilai etika profesi yang positif serta dapat memilah dan meninggakan nilai negatif. Para calon dokter diharapkan dapat menjadi agen perubahan untuk profesi dokter yang berakhlakul karimah dan berintegritas,” ujar Dosen FK Unpas dr. Steffi.
Terlepas dari pembekalan tersebut, komitmen pribadi juga menurutnya harus dimiliki oleh setiap profesi dokter untuk menempatkan kepentingan pasien sebagai kunci utama profesi dokter.
“Nilai-nilai etik seperti tidak melakukan hal yang merugikan pasien, berperilaku dengan nilai profesionalitas tertinggi dan melakukan segala keputusan untuk kebaikan pasien dan nilai-nilai positif lainnya, harus dipegang teguh sejak seseorang berstatus sebagai mahasiswa calon dokter sampai menjalankan profesi dokter,” katanya.
Ia berharap dengan paparan awal nilai positif etika profesi dokter, dapat melahirkan dokter-dokter yang unggul dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika profesi kedokteran. (*/Rani)
