
BANDUNG, unpas.ac.id – Penggunaan bahasa Indonesia sebagai medium pertukaran informasi dan pengetahuan awalnya sempat diragukan. Kendati demikian, dalam pertumbuhannya, bahasa Indonesia dapat diandalkan sebagai bahasa kesastraan, keilmuan, bahkan jurnalistik.
Namun, Budayawan dan dosen Fakultas Ilmu Seni dan Sastra (FISS) Universitas Pasundan Dr. Hawe Setiawan, M.Sn. menilai, penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan masyarakat, khususnya di kalangan jurnalis, masih bermasalah.
Ia mencatat setidaknya ada lima masalah, yaitu penyusunan kalimat, penggunaan kalimat efektif, pemilihan kata, penempatan kata dalam sistem kalimat, serta pemakaian gaya bahasa dan ungkapan yang khas.
Dalam diskusi Forum Bahasa Media Massa (FBBM) bertajuk ‘Tabrani dan Masa Depan Bahasa Indonesia’ yang diselenggarakan belum lama ini, Hawe memaparkan, di dunia persuratkabaran, pertumbuhan bahasa Indonesia terlihat jelas.
Surat kabar berbahasa Belanda masih hadir di Indonesia hingga menjelang perang Indonesia merebut belahan barat Papua pada 1950-an. Sementara surat kabar berbahasa daerah hanya bertahan sampai dasawarsa 1980-an.
“Selanjutnya, gelanggang persuratkabaran di Indonesia hanya mengandalkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Silang susup di antara kedua bahasa tersebut, tak terkecuali dalam aktivitas jurnalistik, kian hari kian leluasa,” paparnya, Jumat (2/9/2022).
Gejala penggunaan bahasa Indonesia di era pergeseran platform jurnalisme
Hawe menambahkan, saat ini jurnalisme mengalami pergeseran platform dari media cetak ke media digital. Di jagat digital, medan komunkasi semakin mengarah pada kebiasaan pemanfaatan media sosial oleh masyarakat.
“Tidak berlebihan rasanya kalau saya mengatakan bahwa citizen terbenam, netizen terbit. Warga negara susut, warganet bangkit. Media massa pudar, media sosial mekar,” ujarnya.
Ia juga mengamati sedikitnya terdapat empat gejala penggunaan bahasa Indonesia di tengah pergeseran jurnalisme dari platform media cetak ke digital.
Pertama, menguatnya kelisanan dalam bahasa tulis, bukan hanya menyangkut pilihan kata, tapi juga sikap penutur bahasa. Kedua, merapatnya aksara gambar dan suara dalam tindak komunikasi.
Ketiga, tumbuhnya tabiat kebarat-baratan dalam pilihan kata dan pencarian ungkapan, seperti pemakaian kata hot, food, news, travel, dan sebagainya. Keempat, meningkatnya kecenderungan pemakaian pronomina ‘ini’.
“Biasanya, judul berita dilengkapi dengan tanda seru untuk menarik perhatian, misalnya ‘inilah’ ‘ini dia’, ‘ini faktanya’, dan lain-lain,” kata Hawe. (Reta)**
