BANDUNG, unpas.ac.id – Beberapa waktu lalu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PSME).
Aturan tersebut lantas melarang beroperasinya media sosial yang menjalankan bisnis social commerce seperti TikTok Shop sebagai media berjualan.
Kendati demikian, platform social commerce masih diperbolehkan mempromosikan barang dan jasa, namun dilarang menyediakan fasilitas pembayaran dan transaksi jual-beli.
Pemerintah mengklaim, hal itu didasari semakin masifnya penjualan produk retail di social commerce, serta adanya indikasi praktik predatory pricing yang merugikan UMKM lokal.
Tidak dipungkiri, di social commerce memang banyak beredar produk impor yang dijual dengan harga jauh lebih murah dari biaya produksi barang sejenis yang dibuat UMKM lokal.
Seiring melonjaknya transaksi di social commerce, pedagang produk retail di toko konvensional, termasuk pedagang di Pasar Tanah Abang mengeluh sepi pembeli dan berimbas pada merosotnya omzet penjualan.
Perlunya Regulasi dan Kontrol Pemerintah
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi, S.E., M.E. menilai, perdagangan digital mesti berkembang sesuai perkembangan model bisnisnya, namun tetap di bawah kendali pemerintah dengan regulasi yang jelas.
Menurutnya, persinggungan antara media sosial dan e-commerce bukan masalah besar, asal keduanya terkoneksi dengan pengawasan dan regulasi.
“Persaingannya harus sehat, terukur, dan didukung pengawasan. Misalnya, media sosial diawasi Kemenkominfo, sementara perdagangan online diawasi Kemendag dan Kemenkominfo. Saya kira tidak jadi masalah, tapi harus ada pengawasan, regulasi, dan perizinan sebagai kontrol,” jelasnya.
Ia menambahkan, ketika berbicara UMKM dan produk lokal dalam perdagangan digital, maka penggunaan berbagai platform hanya bagian dari metode pemasaran online.
Alih-alih melarang penjualan di media sosial, yang terpenting justru meningkatkan daya saing produk dan memperhatikan pengaturan barang impor yang diperdagangkan di media sosial.
Keputusan untuk menghentikan platform social commerce sebagai tempat berjualan dianggap bukan terobosan efektif, melainkan seolah menolak kemajuan teknologi.
Untuk itu, ia berharap ada kebijakan pengembangan ekonomi digital yang sejalan dengan perkembangan model bisnis. Selain menetapkan regulasi, pemerintah juga mesti memastikan kejelasan kontrol dan implementasi regulasi.
“Yang harus dikoreksi, tentu regulasi, kepastian hukum, dan bentuk kontrol pemerintah terkait keamanan transaksi digital. Kemudian, konektivitas transaksi digital dengan penerimaan negara, seperti pajak,” sambungnya. (Reta)**
