BANDUNG, unpas.ac.id – Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2024 semakin dekat dan atmosfer politik pun semakin menghangat. Di tengah gemuruh kampanye, pesan-pesan politik bertebaran, memenuhi ruang publik baik melalui media massa maupun media sosial. Namun di balik hiruk pikuk tersebut, ada satu faktor yang seringkali diabaikan para kandidat dan tim suksesnya yaitu psikologi pemilih.
“Psikologis pemilih tidak hanya tentang apa yang pemilih pikirkan, tetapi bagaimana perasaan pemilih. Ini bukan hanya soal penalaran rasional, tetapi juga tentang emosi, persepsi, dan bias yang menggerakkan pilihan pemilih. Kampanye politik yang efektif harus mampu memahami dan memanfaatkan aspek-aspek ini,” kata Dosen FISIP Universitas Pasundan Rahmi Aini, S.Psi., M.Psi., M.I.Kom., Psikolog dalam keterangan yang diterima, Kamis (26/9/2024).
Emosi
Rahmi menerangkan salah satu elemen kunci dalam kampanye politik adalah bagaimana pesan disampaikan kepada pemilih. Emosi memainkan peran sentral dalam mempengaruhi bagaimana pesan-pesan diterima dan diinternalisasi.
“Ketika sebuah pesan kampanye dirancang untuk memicu emosi, baik itu harapan, kebanggaan atau bahkan ketakutan. Pesan tersebut cenderung lebih mudah diingat dan memiliki dampak yang lebih besar,” jelasnya.
Sebagaimana diungkapkan Marcus, Neuman dan Mac Kean (2000) dalam buku Affective Intelligence and Poliitical Judgement, emosi seperti ketakutan dan harapan dapat meningkatkan perhatian pemilih terhadap informasi politik dan memengaruhi keputusannya.
“Sebagai contoh, kampanye yang menekankan perubahan dan harapan seringkali memicu emosi positif yang dapat memotivasi pemilih untuk mendukung kandidat tertentu,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Rahmi kampanye yang berfokus pada ketakutan terhadap ketidakpastian atau ancaman dapat mendorong pemilih untuk mencari keamanan dengan mendukung kandidat yang dianggap mampu melindungi kepentingan pemilih.
“Namun ada risiko yang melekat dalam strategi yang sangat emosional. Pemilih yang merasa dimanipulasi melalui emosinya mungkin merespon dengan skeptisisme atau bahkan kemarahan,” terangnya.
Hal ini didukung penelitian Brader (2006) dalam “Campaigning for Hearts and Minds” yang menemukan bahwa kampanye yang terlalu mengeksploitasi emosi dapat menimbulkan efek baik. Pemilih merasa tak nyaman dan kehilangan kepercayaan pada kandidat.
Persepsi
Selain emosi, persepsi pemilih juga memainkan peran penting dalam menentukan pilihannya. Menurutnya persepsi ini tidak selalu didasarkan pada fakta objektif. Tetapi lebih sering dibentuk narasi yang dibangun kampanye, media dan pengalaman pribadi pemilih.
“Misalnya seorang kandidat yang berhasil menciptakan citra sebagai pemimpin yang kuat dan tegas mungkin lebih disukai oleh pemilih yang mencari stabilitas. Meskipun kebijakan-kebijakannya tidak selalu sejalan dengan kebutuhan nyata masyarakat,” katanya.
Di sisi lain, ia mengatakan kandidat yang gagal mengelola persepsi publik misalnya dianggap lemah atau tidak konsisten, bisa kehilangan dukungan bahkan jika mereka memiliki program yang lebih baik.
“Persepsi juga sangat dipengaruhi oleh bias kognitif seperti conformation bias, di mana pemilih cenderung lebih menerima informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka sebelumnya dan mengabaikan informasi yang bertentangan,” kata Rahmi.
Hal ini sejalan dengan penemuan Nickerson (1998) yang menunjukkan bahwa confirmation bias dapat memperkuat keyakinan yang sudah ada dan membuat pemilih kurang terbuka terhadap informasi baru.
Media Sosial
Dalam era digital, ia menjelaskan media sosial telah menjadi arena utama untuk komunikasi politik. Di sini, pesan kampanye dapat tersebar dengan cepat dan mencapai jutaan orang dalam hitungan detik. Namun tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memastikan bahwa pesan tersebut tidak hanya tersebar luas, tetapi juga dipahami dan diresapi pemilih.
“Media sosial memungkinkan kampanye untuk lebih personal dan interaktif, memberi ruang bagi pemilih untuk merasa lebih terlibat dalam proses politik. Namun ini juga menciptakan tantangan dalam mengelola informasi yang tersebar. Terutama mengingat banyaknya disinformasi dan berita palsu yang dapat memengaruhi persepsi pemilih,” jelasnya.
Sunstein (2001) dalam Republik.com menekankan bahwa ruang gema yang diciptakan oleh media sosial dapat memperburuk polarisasi politik. Sebab pemilih hanya terpapar pada pandangan yang mereka setujui.
Efektif
Untuk menciptakan kampanye yang efektif, menurutnya para kandidat dan tim sukses harus memahami bahwa pemilih bukanlah entitas yang homogen. Pemilih dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis yang kompleks, mulai dari emosi, persepsi, hingga bias kognitif.
Rahmi menyampaikan kampanye yang sukses adalah kampanye yang mampu mengenali dan memanfaatkan faktor-faktor ini secara etis dan bijaksana. Mengabaikan aspek psikologis pemilih adalah kesalahan fatal yang bisa berujung pada kegagalan. Sebaliknya, dengan memahami dan merespon kebutuhan, ketakutan dan harapan pemilih, kandidat dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan autentik dengan konstituennya.
“Penting bagi kita semua untuk tidak hanya melihat kampanye politik sebagai adu gagasan atau adu strategi semata. Tetapi juga sebagai proses interaksi psikologis yang kompleks. Memahami ini dapat membantu kita sebagai pemilih untuk lebih kritis dan sadar dalam menghadapi berbagai pesan politik yang membanjiri ruang publik menjelang Pilgub Jawa Barat 2024,” pungkasnya. (Rani*)
