BANDUNG, unpas.ac.id – Dalam upaya mewujudkan peradilan yang profesional dan berintegritas serta telaah kritis terhadap tindak pidana oleh penyelenggara negara, Himpunan Komunitas Peradilan Semu Indonesia (HKPSI) yang berkolaborasi dengan Angrahatama Pasundan Moot Court (APMC) Fakultas Hukum (FH) Universitas Pasundan (Unpas) menggelar Seminar Nasional dan Musyawarah Nasional di Aula Mandala Saba Ir. H. Djuanda, Kampus II Tamansari Unpas, Kamis (22/5/2025).
Seminar dan musyawarah nasional ini dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Belmawabud Unpas, Prof. Dr. Cartono, M.Pd., M.T., mahasiswa FH Unpas serta perwakilan dari 18 perguruan tinggi di Indonesia yang mewakili Himpunannya masing-masing serta dua keynote speaker yaitu Ketua Pengadilan Tinggi Bandung Dr. M. Eka Kartika E.M., S.H., M.Hum dan Hakim Pengadilan Tinggi Bandung Dr. Jonlar Purba, S.H., M.H.
Panelis dalam seminar ini diantaranya Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Dr. Halila Rama Purnama, S.H., M.Hum., Hakim Yudisial sekaligus Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Umum Mahkamah Agung RI Hasanudin, S.H., M.H dan Dekan FH Unpas Prof. Dr. Anthon Freddy Susanto, S.H., M.Hum.
Seminar ini menyoroti pentingnya keteladanan dan komitmen para penegak hukum dalam menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Seminar ini menjadi wadah refleksi bersama di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang terus digalakkan di Indonesia.
Tantangan dalam penegakan hukum semakin kompleks, terutama dengan maraknya kasus-kasus besar yang mengindikasikan bahwa sistem hukum nasional masih rentan terhadap tekanan dan godaan. Dalam menghadapi kondisi ini, dibutuhkan sikap arif dari seluruh pemangku kepentingan hukum untuk memperkuat ketahanan moral institusi dan membuka ruang dialog yang sehat.
Salah satu wacana menarik yang muncul dalam seminar ini adalah perlunya pengkajian ulang terhadap konsep forum previlegiatum yaitu sebuah forum peradilan khusus yang pernah ada dalam sistem hukum Indonesia. Forum ini dirancang untuk memastikan proses hukum terhadap pejabat negara dapat berjalan dengan cepat, adil, dan tetap dalam koridor hukum.
Forum Previlegiatum

Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Dr. Halila Rama Purnama, S.H., M.Hum. mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara yang menegakkan supremasi hukum guna menegakkan kebenaran dan keadilan.
Halila menjelaskan kepastian hukum sangat identik dengan pemahaman positivisme hukum yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang. Peradilan berarti semata-mata penerapan Undang-Undang pada peristiwa yang konkrit.
Sedangkan forum previlegiatum menurut Prof. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum., Halila menjelaskan forum ini adalah suatu sistem peradilan, baik itu dari segi penyelenggaraan peradilan maupun sebagai proses mengadili. Forum Previlegiatum pernah diterapkan sebagaimana dianut dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950.
“Pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 dan Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan khusus untuk mengadili Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya yang telah melakukan kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dalam undang-undang dalam masa jabatannya,” jelasnya.
Ruang Peradilan Digital

Sementara itu, Dekan FH Unpas Prof. Dr. Anthon Freddy Susanto, S.H., M.Hum. menyampaikan Sistem Peradilan (Pidana) kita dianggap terlalu lemah ketika berhadapan dengan kejahatan yang melibatkan kekuasaan besar di dalamnya.
Selain itu, Prof. Anthon menjelaskan mengenai ruang peradilan digital, seperti trend global partisipatoris yaitu kerelawanan menguat, menjadi partisipasi masyarakat melalui media sosial.
“Komunikasi interaktif dan hilangnya model komunikasi controlling style yaitu kuasa kuat pada komunikatornya dan hilangnya komunikasi terstruktur, kaku dalam komunikasi di ruang peradilan dan lain-lain,” ujarnya.
Kemudian, Prof. Anthon mengatakan konflik dimediasi melalui informasi berbasis teknologi komunikasi. Pada tahap ini konflik dan perbedaan pandangan dan kepentingan dapat dikomunikasikan dengan cepat.
“Lalu, transformasi keadilan memberi akses kepada informasi yang sifatnya personal, memungkinkan siapapun berinteraksi tanpa sekat, ahli dengan bukan ahli, pejabat dengan orang biasa dan lain-lain,” pungkasnya. (Rani)
