Inovasi tidak bisa dilakukan tanpa ruang bergerak, inovasi sangat berkembang dalam ekosistem yang tidak dibatasi — spirit kampus merdeka —
Nadiem Anwar Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Prof. Dr. H. JaJa Suteja, M.SI
Wakil Rektor I Unpas dan Guru Besar Ilmu Manajemen
Universitas Pasundan
Kebijakan “Merdeka Belajar” dan “Kampus Merdeka” telah mendominasi berbagai diskursus mulai dari lingkungan formal di ruang-ruang kuliah sampai di teras-teras café, balk oleh civitas akademika maupun masyarakat umum beragam respon balk yang sifatnya pro maupun yang kontra.
Pendidikan tinggi memiliki potensi dampak tercepat, untuk perubahan sumber daya manusia unggul, karena jangka waktu output keluar dari perguruan tinggi ke dunia pekerjaan dan best practice sangat cepat, ini adalah sebuah potensi yang luar biasa apabila kita bisa meningkatkan kualitas perguruan tinggi terutama pada jenjang atau strata S1, karena pada kebanyakan mahasiswa ada pada strata sarjana (51), dengan demikian adalah cara tercepat untuk membangun sumberdaya manusia unggul.
Melalui perguruan tinggi berkualitas, menjadikan perguruan tinggi (PT) merupakan ujung tombak yang bergerak tercepat, karena PT begitu dekat dengan dunia pekerjaan. Institusi ini sejatinya yang harus memilki gerak inovasi tercepat dari semua unit pendidikan yang lainnya, karena itu perguruan tinggi seharusnya memiliki taktik dan strategi untuk terus berubah secara lincah dan fleksibel, namun demikian kenyataan PT saat ini belum memiliki perhatian yang signifikan dalam aspek inovasi. Inovasi dalam dunia Pendidikan tinggi menjadi sesuatu yang amat sangat penting. Inovasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran, inovasi dalam riset dan inovasi dalam bidang pengabdian pada masyrakat. Inovasi tidak bisa dilakukan tanpa ruang bergerak, inovasi sangat berkembang dalam ekosistem yang tidak dibatasi ini adalah spirit kampus merdeka,
Kemerdekaan Akademik
Melalui kebijakan “Kampus Merdeka”, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ingin agar universitas di Indonesia diberi ruang yang cukup memadai untuk beradaptasi mengikuti perkembangan zaman. Kebijakan Kampus Merdeka menitikberatkan pada pelonggaran proses akreditasi, pemberian hak pada mahasiswa untuk belajar di luar kelas, otonomi pembukaan program studi (prodi) baru, dan kemudahan PTN Badan Layanan Umum (BLU) serta Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH).
Salah satu prinsip terpenting yang dianut oleh dunia pendidikan tinggi modern saat ini adalah kemerdekaan akademik (academic freedom). Konsep ini pertama kali dirumuskan oleh filsuf Jerman Wilhelm von Humboldt (1809), kemerdekaan akademik memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk memilih bidang studi atau prodi apapun, sementara itu dosen memiliki kebebasan untuk mengajar ilmu yang sesuai dengan kepakarannya.
Pemberian otonomi pembukaan prodi baru menuntut universitas untuk cermat mengamati perkembangan zaman agar mampu menawarkan bidang studi yang tidak cepat kadaluwarsa dan mampu bertahan di masa depan, misalnya sains data, kecerdasan buatan, bio-ekonomi, e-commerce dan sebagainya. Keberadaan prodiprodi baru tersebut member’ kebebasan lebih besar kepada mahasiswa untuk memilih bidang studi yang sesuai dengan tren lapangan pekerjaan di masa depan. Mahasiswa menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan kehadiran prodi-prodi baru terse-but. Demikian pula dengan hak mahasiswa untuk menimba ilmu di luar kelas dalam bentuk magang, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, dan sejenisnya. Dengan demikian, mahasiswa menjadi pihak yang sangat diuntungkan dengan kebijakan ini. Melalui pengalaman belajar di luar kelas, mahasiswa akan lebih mampu untuk menerapkan ilmunya pada kehidupan nyata sekaligus meningkatkan daya saing dalam mencari pekerjaan.
Seorang filsuf Jerman Johann Gottlieb Fichte (1809) telah menekankan salah satu ciri universitas modern adalah kemampuan lulusannya untuk menerapkan ilmu yang dipelajarinya di dunia nyata dan tidak hanya pandai berteori saja (Fichte;1807). Walaupun belum diwajibkan dan hanya berbentuk pilihan, kesempatan untuk belajar di luar kelas menunjukkan suatu perkembangan yang sangat menggembirakan.
Apabila kita menelaah data publikasi UNESCO menunjukkan sebanyak 5 juta mahasiswa di seluruh dunia mengikuti program pertukaran pelajar (student exchange/mobility), jumlah tersebut naik signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya yang hanya mencatat 4 juta mahasiswa. Demikian pula dengan program magang yang semakin banyak dipilih oleh mahasiswa di Indonesia. Tahun lalu Kemenristekdikti (sekarang-Kemendikbud) memberi kemudahan dengan membuat keputusan bahwa 45 jam kerja magang setara dengan satu satuan kredit semester (sks) sehingga mahasiswa tidak perlu kehilangan sks selama proses magang.
Jika mahasiswa banyak diuntungkan dengan kebijakan Kampus Merdeka, bagaimana dengan kondisi dosen? Dosen di Indonesia memiliki tiga tugas pokok, yaitu; (i) Pendidikan dan Pengajaran, (ii) Penelitian, dan (iii) Pengabdian Pada Masyarakat yang dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Walaupun secara umum kelihatan sederhana, namun dalam prakteknya cukup berat terutama terkait pelaksanaan projek penelitian dan publikasi hasil penelituan tersebut dalam jurnal bereputasi sebagai bagian wajib dalam pelaporan BKD (Behan Kerja Dosen) yaitu satuan sks yang harus dicapai oleh seorang Dosen dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam periode tertentu.
Penelitian Doyle dan Hind (1998) terhadap 582 dosen di berbagai universitas di Inggris menunjukkan 77% responden pria dan 74% responden wanita mengakui beban tugas mereka telah meningkat selama 5 tahun terakhir, terutama tugas-tugas administratif yang memiliki relevansi minimal dengan tugas-tugas pokok sebagai akademisi. selanjutnya riset yang dilakukan oleh Dewi dkk (2019) yang mengambil sampel tenaga pengajar di Universitas Padjajaran menunjukkan indikasi tingginya beban kerja yang harus ditanggung oleh dosen dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan mental serta fisik mereka. Tingginya beban tugas tidak hanya dialami oleh tenaga pengajar di Indonesia.
Keinginan Mendikbud untuk mendorong dunia pendidikan di Tanah Air agar adaptif terhadap perkembangan zaman bisa dipahami dan patut didukung secara penuh. Tetapi hal tersebut sukar terwujud jika para dosen sebagai mesin penggerak revitalisasi pendidikan tinggi masih dibelenggu oleh tugas-tugas administratif yang tidak memiliki dampak langsung terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mungkin ada baiknya Mendikbud meninjau ulang beban kerja dosen, terutama yang terkait dengan tugas-tugas administratif agar para dosen dapat fokus ke tugas-tugas pokok mereka. Agar cita-cita Kampus Merdeka tidak hanya dirasakan oleh mahasiswa tapi juga para dosen. Agar Tri Dharma Perguruan Tinggi tidak berubah menjadi Catur Dharma atau Panca Dharma karena banyaknya tugas-tugas tambahan yang bersifat administratif.
Kebijakan Kampus Merdeka
Program pertama adalah perguruan tinggi, baik itu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Swasta (PTS) memiliki otonomi pembukaan program studi baru. Syaratnya, PTN dan PTS yang mau membuka program studi baru harus memiliki akreditasi A dan B, serta telah melakukan kerja sama dengan organisasi dan/atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities. Pengecualian berlaku untuk prodi kesehatan dan pendidikan. Seluruh prodi baru akan otomatis mendapatkan akreditasi C. Kemendikbud juga akan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan mitra prodi untuk melakukan pengawasan yang ketat. kementerian juga akan mengawasi secara ketat dan mewajibkan melakukan “Tracer study” setiap tahunnya.
Proses re-akreditasi dilakukan secara otomatis dan sukarela
Poin selanjutnya adalah mempermudah proses akreditasi perguruan tinggi. Saat ini proses akreditasi wajib dilakukan tiap lima tahun sekali. Kebijakan baru ini akan membuat proses tersebut diperbaharui secara otomatis. Program re-akreditasi ini bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat. Evaluasi akreditasi akan dilakukan oleh BAN-PT jika ditemukan penurunan kualitas berdasarkan pengaduan masyarakat yang disertai bukti konkret, serta penurunan tajam jumlah mahasiswa baru yang mendaftar, dan lulus dari prodi ataupun perguruan tinggi.
Syarat menjadi PTN-BH dipermudah
Kebijakan Kampus Merdeka yang ketiga berkaitan dengan kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Kemendikbud akan mempermudah persyaratan PTN BLU dan Satker untuk menjadi PTN BH tanpa terikat status akreditasi. Hingga saat ini, hanya perguruan tinggi berakreditasi A yang dapat menjadi PTN BH.
Hak belajar tiga semester di luar program studi dan perubahan definisi SKS
Mahasiswa diberikan kebebasan untuk mengambil ataupun tidak sks di luar kampusnya sebanyak 2 (dua) semester atau setara dengan 40 sks. Ditambah, mahasiswa juga dapat mengambil sks di prodi lain di dalam kampusnya sebanyak 1 (satu) semester dari total semester yang harus ditempuh. Kementerian menilai saat ini bobot sks untuk kegiatan pembelajaran di luar kelas sangat kecil dan tidak mendorong mahasiswa untuk mencari pengalaman baru. Apalagi di banyak kampus, pertukaran pelajar atau praktik kerja justru menunda kelulusan mahasiswa. Setiap sks diartikan sebagai ‘jam kegiatan’, bukan lagi ‘jam belajar’. Kegiatan disini bisa berarti belajar di kelas, magang atau praktik kerja di industri atau organisasi, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset, studi independen, ataupun kegiatan mengajar di daerah terpencil.
Sebuah analogi sederhana tentang konsep KAMPUS MERDEKA dan MERDEKA BELAJAR boleh jadi menggambarkan kondisi masa lalu dan saat ini, bayangkan suatu hari mahasiswa kita S1 harus berenang ke suatu pulau di laut bebas, pada saat ini perenang-perenang kita hanya dilatih satu gaya renang saja, misalnya gaya bebas, satu gaya itu dianggap satu prodinya dia, satu prodi seratus persen belajar di prodinya, dan dia juga hanya dilatih di kolam renang, kolam renang itu adalah kampus, saat ini semua mahasiswa belajar satu disiplin ilmu saja, dan juga berlatih di kolam renang yang aman tidak ada ombak, tidak arus tidak ada cuaca, dengan beragam alat pengamanan yang siap tersedia, padahal dia harus berenang menuju satu pulau di lautan bebas jadi bagaimana mungkin mereka bisa diceburkan kelaut bebas dan dapat survive?. Jadi Intinya mahasiswa Program S1 sebaiknya belajar berbagai disiplin ilmu, dia belajar berenang gaya bebas, gaya punggung, bagaimana cara mengapung dilautan dan juga tidak hanya berlatih di kolam renang, tapi juga kenapa kita tidak sekali kali latihan berenang di lautan bebas yang variatif — inilah sebenarnya tujuan belajar 3 (tiga) semester di luar prodi pada program S1 agar mahasiswa kita benar benar-benar siap diterjunkan berenang di laut yang terbuka yaitu dunia yang nyata. (Nadiem Anwar Makarim). Semoga.***