BANDUNG, unpas.ac.id – Gedung Paguyuban Pasundan yang berdiri kokoh di Jalan Sumatra No. 41, Kota Bandung menyimpan pesona tersendiri. Sejak 2010, bangunan heritage ini ditetapkan sebagai cagar budaya golongan A Kawasan III (Pertahanan dan Keamanan/Militer).
Status gedung Paguyuban Pasundan sebagai cagar budaya dapat diakses di Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya milik Kemendikbudristek. Lokasi gedung Paguyuban Pasundan bersebelahan dengan Kupus III Ditkuad/Direktorat Keuangan Siliwangi yang juga masuk dalam daftar cagar budaya Kota Bandung.
Sebelum menetap di Bandung, Paguyuban Pasundan berkantor di Batavia. Baru pada periode kepemimpinan Otto Iskandar Di Nata, semua aktivitas pengurus pusat dipindahkan ke Bandung dan sampai sekarang menempati gedung di Jalan Sumatra, berdampingan dengan Fakultas Kedokteran dan Pascasarjana Universitas Pasundan.
Gedung Paguyuban Pasundan didirikan sekitar tahun 1905-1915di atas tanah seluas 1630 m2 dan luas bangunan 460 m2 dengan gaya arsitektur tradisional barat. Semula, gedung Paguyuban Pasundan merupakan rumah tinggal militer. Di era tersebut, Bandung memang tengah dipersiapkan sebagai pusat militer pemerintah Hindia-Belanda.
Saat itu, banyak daerah yang dibangun untuk dijadikan kompleks militer, termasuk di antaranya area Archipelwijk (lingkungan nusantara). Disebut Archipelwijk karena kompleks militer ini berada di jalan yang dinamai dengan nama-nama pulau di nusantara, salah satunya Jalan Sumatra.
Sayangnya, hingga kini belum diketahui siapa arsitek gedung Paguyuban Pasundan. Namun, dilansir dari Pikiran Rakyat, gedung ini diduga karya dari Richard Leonard Arnold Schoemaker, kakak kandung Charles Prosper Wolff Schoemaker, arsitek Belanda yang berjasa memberikan wajah modern bagi Kota Bandung.
Gaya arsitektur yang lazim diaplikasikan di gedung-gedung militer didominasi gaya neo-klasik dengan simetri, garis-garis bersih, dan penampilan rapi, pemerintah Hindia-Belanda seolah hendak menunjukkan kedisiplinan dan kekokohan militernya melalui rancang bangunan.
Oleh karena itu, tak heran jika gedung Paguyuban Pasundan ikut menggunakan gaya arsitektur neo-klasik yang dipadukan dengan gaya klasik-romantik. Hal ini tampak dari ornamen atap jendela berbentuk melengkung yang jadi ciri khas gaya klasik-romantik.
Gedung Paguyuban Pasundan didominasi cat putih dan aksen hijau di beberapa titik. Suasana terasa asri karena di luar gedung ditanami berbagai jenis pohon, seperti palem dan kamboja. Untuk memasuki ruangan depan, pengunjung mesti menaiki anak tangga yang didesain mengerucut.
Nuansa di dalam gedung Paguyuban Pasundan pun sangat sejuk, ditambah dengan lampu gantung besar yang menciptakan kesan mewah. Begitu masuk, pengunjung akan disambut pajangan delman antik di tengah ruangan yang dikelilingi deretan foto Ketua Umum Paguyuban Pasundan dari masa ke masa.
Masuk lagi ke dalam, didapati semacam ruang rapat yang diapit beberapa ruang perkantoran tempat Pengurus Besar Paguyuban Pasundan beraktivitas. Uniknya, di setiap ruangan terdapat pintu yang terhubung dengan ruangan lainnya.
Meski Paguyuban Pasundan telah memasuki usia ke-108, namun gedungnya masih tegak menjulang, bak saksi seluruh aktivitas pengurus yang membesarkan namanya. Status cagar budaya yang melekat menjadi pengingat bagi kita agar senantiasa melestarikan dan memelihara gedung Paguyuban Pasundan sebagai aset sejarah Kota Bandung. (Reta)*