BANDUNG, unpas.ac.id – Dalam rangka penyegaran visi misi Universitas Pasundan, dosen beserta civitas akademika mengikuti pembekalan nilai-nilai keislaman dan kesundaan secara daring, Kamis (9/9/2021).
Materi keislaman disampaikan Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Syiar Islam (LP2SI) Dr. H. Tata Sukayat, M.Ag. dan kesundaan oleh Ketua Lembaga Budaya Sunda (LBS) Dr. Hawe Setiawan, M.Sn.
Kegiatan dibuka dengan sambutan Ketua YPT Pasundan Dr. H. Makbul Mansyur, M.Si. Ia menekankan, pelaksanaan visi misi Unpas bukan hanya tanggung jawab dosen di bidang terkait (keislaman dan kesundaan), melainkan seluruh elemen yang terlibat dalam proses belajar mengajar.
“Jangan terbatas pada teori di kelas, tapi diimplementasikan segenap struktural, baik dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Peta jalan pendidikan di Unpas harus betul-betul dituangkan dalam program tahunan, sehingga lulusan memiliki karakter yang berbeda dengan perguruan tinggi lain,” tegasnya.
Rektor Unpas Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp, M.Si., M.Kom., IPU menyampaikan, pembekalan ini penting untuk melihat kembali arah dan kebijakan visi misi Unpas. Sebab, timeboard visi Unpas akan segera berakhir Desember 2021 mendatang.
“Visi Unpas masih sama dengan sebelumnya, tetapi timeboard-nya diperbarui untuk 15 tahun ke depan, yakni menjadi komunitas akademik peringkat internasional yang mengusung nilai-nilai kesundaan dan keislaman di tahun 2037,” paparnya.
Misi Unpas juga tidak mengalami perubahan, namun guna mencapai visi yang diusung, perlu ada peningkatan aktivitas dan pengambilan langkah di atas standar tertentu dalam penyelenggaraan perguruan tinggi.
Membangun karakter Islam dalam diri individu
Menurut Ketua LPPSI, guna mewujudkan motto pengkuh agamana, terlebih dulu mesti membumikan karakter Islam dalam diri individu. Apabila Islam sudah menjadi karakter, maka tabiat dan sifat-sifatnya pun senantiasa mengikuti.
“Karakter Islam diwujudkan melalui perilaku. Pertama, implementasi 99 asmaul husna. Kedua, implementasi empat sifat nabi, dalam lingkup akademisi ditunjukkan dengan integritas, kemampuan menyampaikan ide kepada peserta didik, akuntabilitas, dan kompetensi. Ketiga, menanamkan nilai Islam, seperti menyebarkan salam, berbagi pada sesama, silaturahmi, dan salat malam,” paparnya.
Selain tertuang dalam visi, Unpas sudah memenuhi indikasi pengkuh agamana yang meliputi empat aspek, yaitu meningkatkan pemahaman agama, meningkatkan pengamalan agama, meningkatkan moderasi dan toleransi beragama, meningkatkan sarana dan prasarana pendukung keagamaan.
Strategi mikro untuk memasyarakatkan Islam di lingkungan kampus sedikitnya bisa dilakukan dengan empat hal, yakni perkuliahan di kelas, budaya kuliah, ekstrakurikuler, dan kegiatan keseharian di rumah.
“Nilai Islam dapat diintegrasikan pada setiap mata kuliah dan ekstrakurikuler, juga dibiasakan dalam keseharian di kampus maupun di rumah, selama masih sama dengan yang ada di satuan perkuliahan,” lanjutnya.
Perwujudan Nilai Sunda di Unpas
Mengenai nilai-nilai kesundaan, Ketua LBS memaparkannya lewat apresiasi sastra dari tokoh-tokoh Sunda yang pernah berkiprah di Unpas. Dimulai dengan mengurai sajak singkat karangan almarhum penyair Sunda Wahyu Wibisana yang ternyata berhasil mewadahi vsi misi Unpas hanya dalam enam baris.
Ia juga menampilkan buku-buku karya tokoh senior Unpas yang banyak berkiprah dalam merumuskan visi Unpas. Di antaranya buku berjudul ‘Mulangkeun Panineungan’ karya Prof. Drs. H. R. Muchtar Effendi.
“Di buku ini, tersurat bahwa usaha Unpas dalam mencapai cita-citanya yaitu ingin menghasilkan sarjana yang luhung elmu-panemuna dan luas wawasan nalarnya. Di samping itu, kuat akidah Islamnya dan bertakwa kepada Allah SWT, namun tetap menjaga budaya yang ditinggalkan nenek moyangnya (kebudayaan Sunda),” terangnya.
Selain itu, buku berjudul ‘Nur Hidayah’ karya Hidayat Suryalaga yang pernah menjabat sebagai Ketua LBS Unpas. Buku tiga seri ini merupakan saritilawah Alquran yang ditampilkan dalam bentuk pupuh (puisi Sunda).
“Ini hasil kreativitas akademisi di lingkungan Unpas dalam mewujudkan titik temu antara nilai religiusitas Islam dan kebudayaan Sunda. Ia melanjutkan tradisi yang sudah dirintis oleh leluhurnya dalam mengadaptasikan Alquran ke tulisan Sunda,” jelasnya.
Ia mengejawantahkan Pasundan sebagai tempat bagi segala sesuatu yang berkaitan dengan kesundaan. Pasundan mesti dipahami sebagai lingkungan budaya, bahasa sastra aksara, sistem nilai, ilmu, agama, dan budaya.
“Yang jelas, untuk mencirikan ada atau tidaknya budaya Sunda dilihat dari bahasanya. Apabila bahasanya tidak digunakan, pasti kebudayaannya juga akan hilang,” tutupnya. (Reta)