BANDUNG, unpas.ac.id – Perkara sampah di Kota Bandung masih menjadi persoalan klasik. Penanganan sampah memerlukan perubahan struktural. Tidak hanya membebankan pada individu, namun juga pelibatan multipihak untuk menuju zero waste.
Permasalahan sampah dan kebijakan penanganan sampah di Kota Bandung dikaji dan diteliti secara mendalam oleh dosen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Pasundan Dhini Ardianti, S.Sos., M.I.Kom. dan Vera Hermawan, S.I.Kom., M.I.Kom.
Keduanya menyoroti isu sampah di Kota Bandung karena masih banyak masyarakat yang tidak menyadari perubahan iklim akibat timbulan sampah. Berdasarkan penelitiannya, 60 persen dari 1.500 ton sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Bandung setiap harinya merupakan sampah organik.
Sampah organik cenderung lebih berbahaya karena menimbulkan gas metana, salah satu gas rumah kaca yang dapat menyebabkan efek rumah kaca dan pemanasan global.
“Pesan alam seperti inilah yang harus dikomunikasikan oleh berbagai pihak. Sayangnya, kajian ilmu komunikasi terkait isu lingkungan masih terbilang minim,” jelas Dhini.
Dari riset awal yang dilakukan, permasalahan sampah di Kota Bandung diakibatkan beberapa hal, yaitu keterbatasan lahan TPA, lemahnya penegakan hukum, kurangnya kesadaran dan perlakuan masyarakat terhadap sampah, dan pelayanan operator sampah.

“Kami ingin mengetahui peran pemerintah dalam merumuskan, mengimplementasikan, dan mengomunikasikan penanganan sampah yang sampai saat ini belum menemukan solusi praktis dan partisipatif,” tambahnya.
Keduanya menilal, berbagai kebijakan penanganan sampah di Kota Bandung yang didukung Perda No 9 Tahun 2018 sudah bagus, namun masih menimbulkan masalah dan belum sepenuhnya diimplementasikan masyarakat.
Belum Sepenuhnya Terimplementasi
Meski kebijakan penanganan sampah seperti Berhiber, Kang Pisman, dan Sejuta Biopori berhasil mengumpulkan komunitas pegiat lingkungan yang akhirnya tergabung dalam Forum Bandung Juara Bebas Sampah, tetapi tetap dibutuhkan green movement yang melekat sebagai tanggung jawab bersama.
Penelitian terbaik FISIP Unpas TA 2022/2023 ini menemukan, implementasi kebijakan pemerintah dihasilkan melalui pendekatan politis teknokratik, serta partisipatif top down dan bottom up.
“Kebijakan yang dibuat Pemkot Bandung memang berkaitan dengan janji kampanye dan komunikasi politik saat Pilkada. Kemudian muncullah partisipasi komunitas yang melahirkan inovasi pengurangan distribusi sampah organik dan menciptakan circular economy,” terang Vera.
“Kami rasa, kebijakannya baik, payung hukumnya jelas, dukungan pemerintah juga tinggi, tapi percuma jika masyarakat tidak ikut mengawal implementasinya. Bukan hanya fasilitas atau infrastrukturnya saja yang diperlukan, tapi bagaimana melahirkan kesadaran di akar rumput agar permasalahan sampah dapat teratasi,” imbuhnya.
Lahirkan Konsep Green Politic
Penelitian tentang kebijakan penanganan sampah di Kota Bandung ini menghasilkan kebaruan berupa adanya pemikiran green politic yang memberikan peluang kepada masyarakat dan stakeholder untuk mendorong pemerintah melakukan gerakan peduli lingkungan.
“Gerakan peduli lingkungan tidak harus dari pemerintah, tapi juga partisipasi masyarakat. Ketika kesadaran masyarakat diedukasi dengan baik, maka optimalisasi pengelolaan sampah akan tercapai,” lanjutnya.
Ilmu Komunikasi FISIP Unpas hadir untuk menyosialisasikannya supaya kebijakan dan kemampuan mitigasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah sama-sama mumpuni dan bisa mewujudkan kawasan bebas sampah, minimal di lingkungan RW atau kelurahan.
“Di Jamaras, lokasi penelitian kami, kesadaran pengelolaan sampah bahkan dilakukan siswa SD. Mereka mendatangi rumah demi rumah untuk mengumpulkan sampah organik sambil bernyanyi. Itu bisa ditiru kawasan lain di Kota Bandung, karena stakeholder tidak harus dari usia produktif, tapi juga pelajar yang disiapkan untuk generasi masa depan,” tandasnya. (Reta)**
