BANDUNG, unpas.ac.id – Masalah transportasi publik di Kota Bandung kembali disorot. Hal tersebut mencuat usai Dishub Kota Bandung merilis jumlah kendaraan yang hampir setara dengan populasi penduduk, sehingga kemacetan kerap tak terhindarkan.
Dishub Kota Bandung mencatat, jumlah kendaraan di Kota Bandung mencapai 2,2 juta unit, sementara jumlah penduduk sebanyak 2,4 juta jiwa.
Keluhan kemudian merembet pada banyaknya fasilitas publik yang dibangun oleh pemerintah setempat. Padahal, masyarakat menilai, Kota Bandung lebih membutuhkan transportasi umum ketimbang fasilitas publik yang tidak begitu urgent.
Menurut Dosen Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan Andre Ariesmansyah, S.AP., M.AP., transportasi publik di Kota Bandung masih tertinggal dibanding kota lain.
Transportasi publik, kata dia, memerlukan komitmen semua pihak, tidak hanya pemerintah, namun juga masyarakat. Transportasi publik mesti disepakati sebagai sesuatu yang penting agar jadi prioritas masyarakat dan jadi jawaban untuk mengurai kemacetan.
“Saya rasa harus berangkat dari situ. Sekarang percuma kalau transportasi publiknya ada, tapi rutenya tidak disiapkan, sistemnya kurang baik, titik hentinya bukan di halte, bahkan haltenya banyak yang beralih fungsi,” terangnya, dikutip dari Podcast Unpas Talk, Senin (20/2/2023).
Jika Bandung hendak menambah moda transportasi publik seperti KRL, MRT, maupun LRT, pemerintah perlu meninjau dan membuat kajian khusus, serta memperhatikan penggunanya agar tidak dominan ke kalangan tertentu.
“Jangan sampai yang bisa menggunakan hanya kalangan menengah ke atas. Ketika saya ke Jepang dan Hong Kong, semua lapisan masyarakat dapat menikmati fasilitas itu karena memang jadi kebutuhan dan lebih murah daripada menggunakan kendaraan pribadi,” tambahnya.
Kesenjangan Masyarakat Masih Tinggi
Ia mengatakan, berlarut-larutnya masalah kemacetan dan transportasi publik dikarenakan belum tuntasnya penanganan kesenjangan masyarakat, khususnya persoalan ekonomi, sandang, pangan, papan, dan kesejahteraan hidup.
“Kalau mau berhasil, pembangunan SDM harus diselesaikan dulu, baru diikuti infrastruktur. Pemerintah juga mesti tegas dalam membatasi populasi penduduk dan memberikan penyuluhan berkelanjutan,” ujarnya.
Dibanding menerapkan ganjil genap, melakukan pelebaran jalan, dan membangun flyover untuk mengatasi kemacetan, ia menyarankan adanya gedung parkir di tempat yang menjadi titik aktivitas masyarakat, misalnya perguruan tinggi, pusat perbelanjaan, objek wisata, hingga perkantoran.
“Di Tokyo, ada beberapa gedung parkir yang disiapkan untuk kendaraan pribadi, jadi pengendara bisa parkir di situ, tinggal bagaimana integrasi dengan sektor lainnya. Tapi kota-kota di Tokyo saling terkoneksi, jadi memudahkan. Nah, di bandung, apakah bisa demikian?,” paparnya.
Menanggapi pendapat ahli mengenai Bandung yang bakal kolaps jika tidak segera beralih ke transportasi umum, ia menyebut, masyarakat harus lebih dulu menemukan kenyamanan transportasi publik, karena sudah ada Trans Metro Bandung sebagai embrionya.
“Kalau semua pihak dibuat nyaman, jumlah transportasi publik tercukupi, pasti banyak yang beralih, apalagi kalau BBM semakin naik. Tapi, muat tidak transportasinya untuk menampung masyarakat Bandung? Cukup tidak APBD nya? Memadai tidak jalannya? Jangan sampai ada kegagalan kebijakan,” tutupnya. (Reta)**