BANDUNG, unpas.ac.id – Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia menyatakan bahwa laju deforestasi (penggundulan hutan) di Indonesia turun signifikan, bahkan mencapai persentase terendah dalam 20 tahun terakhir.
Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, terhitung sejak 2017, deforestasi memang menunjukkan tren penurunan. Namun, bukan karena intervensi pemerintah, melainkan sumber daya hutan yang telah habis, seperti di Sumatra dan Jawa. Sementara di daerah yang memiliki hutan luas, khususnya di wilayah timur justru mengalami kenaikan.
Ketimpangan data deforestasi di Indonesia juga disampaikan oleh Wakil Ketua Umum DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Ir. H. Doddy Imron Cholid, M.S. dalam diskusi ‘Deforestasi untuk Pembangunan, Demi Kebaikan atau Kekuasaan?’ yang diadakan Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik, FISIP, Universitas Pasundan, Selasa (21/12/2021).

Ia menghubungkan permasalahan deforestasi dengan kebijakan Reforma Agraria yang digadang-gadang dapat mempermudah penataan ulang atau restrukturisasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber agraria, terutama untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil.
“Apakah deforestasi tersebut betul-betul untuk tujuan Reforma Agraria yang merujuk pada kesejahteraan rakyat? Atau hanya untuk melayani investor? Dengan tema besar peningkatan kesejahteraan rakyat, distribusi lahan yang bakal dilepas jadi tanah objek Reforma Agraria malah semakin mencuatkan isu deforestasi dan kerusakan hutan,” katanya.
Reforma Agraria dikhawatirkan meningkatkan jumlah kemiskinan dan pengangguran di pedesaan karena rakyat makin kehilangan akses terhadap tanah. Selain itu, konflik agraria pun bermunculan, baik berupa perselisihan tanah, meningkatnya penguasaan tanah skala besar, maupun tata ruang yang tumpang tindih.
Doddy mengatakan, kondisi tutupan lahan di Indonesia terdiri dari kawasan hutan daratan (terrestrial) seluas 120 juta hektar atau sekitar 70 persen. Sementara seluas 70 juta hektar atau sekitar 30 persen merupakan Areal Penggunaan Lain (APL).
“Dari luas tersebut, terjadi ketimpangan struktur penguasaan tanah, di mana 70 persen dikuasai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), badan hukum privat 10 persen, perorangan 16 persen, petani atau gurem 4 persen, dan buruh tani 0 persen,”katanya.
Gubernur Hima-AP Muhammad Fauzi mengatakan, deforestasi diusung sebagai tema diskusi mengingat alih fungsi lahan kerap tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Pemerintah juga terkesan tidak menilik kemungkinan dampak yang dirasakan masyarakat sekitar. Ia khawatir, deforestasi yang dilakukan pemerintah hanya demi investor tanpa mempertimbangkan masyarakat.
“Seperti kasus alih fungsi lahan untuk penambangan batuan di Desa Wadas, Purworejo. Masyarakat mempertahankan tanahnya karena mata pencaharian mereka bersumber dari hasil kebun dan tani. Jika dialihfungsikan untuk industri tambang, maka masyarakat akan kehilangan sumber pendapatannya,” tuturnya.
Sejalan dengan urgensi permasalahan deforestasi, Hima-AP melalui Bidang Kajian, Aksi, dan Strategis berencana melaksanakan program penanaman 1.000 pohon tegakan di daerah rawan bencana yang diakibatkan deforestasi ilegal. Sejauh ini, Hima-AP masih melakukan riset terkait desa sasaran.
“Mahasiswa memiliki peran sebagai agent of change dan social control. Jangan sampai deforestasi dijadikan ladang bagi investor dan mengesampingkan masyarakat. Kami akan terus mengkritisi dan mengawal, kepada siapa nantinya hutan akan diberikan. Jika kepada investor, apa yang sudah pemerintah berikan kepada masyarakat dan sejauh mana mereka bertindak,” tutupnya. (Reta)*