BANDUNG, unpas.ac.id – Tahun ini, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Pasundan genap memasuki usia ke-44.
Dalam rangka menyambut puncak dies natalis yang akan digelar lusa, FKIP Unpas menyelenggarakan seminar nasional bertajuk “Transformasi Pendidikan dan Pengembangan Keterampilan Guru Bimbingan Konseling Abad 21”, Senin (24/1/2021).
Seminar yang diikuti oleh guru BK dari berbagai sekolah di Jawa Barat ini menghadirkan narasumber Guru Besar Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Uman Suherman AS, M.Pd. dan Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si.
Pada sambutannya, Dekan FKIP Unpas, Dr. H. Uus Toharudin, M.Pd. menuturkan bahwa tugas pendidik bukan sekadar mentransfer ilmu kepada peserta didik.

Lebih dari itu, pendidik berperan mengarahkan dan membentuk peserta didik menjadi pribadi yang sayang, hormat, dan taat kepada kedua orang tua atau individu di sekitarnya.
“Guru BK dan siapa pun berlabel pendidik yang menjadikan Alquran sebagai dasar untuk melaksanakan tugasnya, niscaya Allah akan memberikan jalan, taufik, dan hidayahnya, terlebih jika niat mendidik ditujukan untuk ibadah,” katanya.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Prof. Uman sepakat, dalam mendidik siswa perlu ada landasan yang kuat. Dengan demikian, ilmu yang diberikan bermanfaat ketika diaplikasikan di kehidupan sehari-hari.
“Nilai-nilai Alquran mendorong pendidik untuk menepis pemikiran singkat sebagian orang yang menganggap pendidikan tidak penting. Tumbuhkan prinsip long life learning (belajar sepanjang hayat). Ini yang disebut cara berpikir di abad 21,” tuturnya.

Belajar membuat seseorang memiliki kapasitas, sehingga di kemudian hari ia bisa memperoleh pengakuan, penghargaan, dan kepercayaan.
“Ketika pendidikan sudah tidak dianggap penting, orang akan berpikir jika kehidupan seolah bisa dilalui dengan instan, rasa hormat kepada orang tua semakin melebur, serta kepekaan dan kedekatan sosial berkurang,” ujarnya.
Guru BK semestinya tidak hanya membangun keterampilan teknis, tapi juga meningkatkan kapasitas berpikir agar menghasilkan lulusan yang kuat dari segi lisan maupun tulisan.
“Perlu diingat, cerdas secara tulisan saja tidak cukup. Di sini, guru ambil peran untuk mengajarkan kecerdasan berbahasa, supaya siswa bisa mengolah kata dan menempatkan bahasa yang baik saat berkomunikasi dengan orang lain,” tegasnya.
Sementara itu, Prof. Didi mengulas tentang pentingnya akhlak mulia dalam proses pendidikan, karena ia menilai, saat ini etik dan moral bangsa mulai ambruk.

“Dari sudut pandang keagamaan juga telah terjadi paradoksal umat beragama. Hal paling penting dalam pendidikan adalah akhlak mulia, tapi justru tidak banyak disentuh, padahal itu kuncinya,” paparnya.
Saat ini, pendidikan cenderung mengedepankan daya saing, kecerdasan, dan intelektual. Lembaga pendidikan kadang lupa untuk mendidik akhlak mulia dan moral kehidupan.
“Metodologi ini yang harus kita bantu, agar pendidikan menghasilkan anak-anak yang bisa menjalankan hidupnya dengan benar,” tutupnya. (Reta)*