BANDUNG, unpas.ac.id – Sejak merebaknya pandemi, proses pembelajaran di perguruan tinggi dilakukan dengan metode daring. Kondisi ini memberikan perbedaan signifikan dari proses belajar mengajar yang berdampak pada efisiensi biaya dan waktu.
Sementara esensi pendidikan, transfer ilmu pengetahuan dari pengajar ke mahasiswa masih bisa dilaksanakan meski tidak bertemu secara langsung. Kuliah hanya memerlukan gadget, mahasiswa tinggal duduk manis dan menyimak pemaparan materi dari dosen dari jarak jauh.
First Principle Thinking
Ada salah satu konsep berpikir yang dicetuskan oleh filsuf ternama Aristoteles, yaitu first principle thinking, berpikir sampai hal yang paling mendasar hingga tidak bisa direduksi kembali.
Belakangan, first principle thinking banyak diadopsi oleh para inovator dunia seperti Elon Musk lewat pembuatan mobil listrik dengan penggunaan baterai berbiaya rendah. Airbnb turut berinovasi memberikan kenyamanan menginap tanpa perlu gedung hotel mewah, atau Gojek yang berprinsip bahwa dalam transportasi tidak butuh banyak kendaraan.
Jika first principle thinking bisa bekerja di dunia industri, lantas mungkinkah untuk diaplikasikan di ranah pendidikan?
Pada dasarnya, prinsip pendidikan adalah menyampaikan pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Merujuk pada first principle thinking, apakah di masa depan keberadaan gedung dan dosen profesional masih dibutuhkan?
Pasca pandemi, dunia pendidikan mengalami perubahan yang begitu cepat dan terakselerasi oleh teknologi. Pembelajaran dilakukan secara virtual tanpa memerlukan gedung atau ruang kelas.
Di sisi lain, penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan sistem konvensional tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari pemeliharaan gedung, kelas, listrik, petugas kebersihan, administrasi, hingga gaji tenaga pendidik.
Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan memperkirakan biaya pendidikan akan meningkat dari tahun ke tahun dengan asumsi kenaikan inflasi sekitar 10-20 persen.
Disrupsi di Bidang Pendidikan
Sejalan dengan prediksi tersebut, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Pasundan Budi Septiawan, SE., M.Ak., MBA. menuturkan, pembelajaran online akan menjadi alternatif di masa depan karena lebih cost-efficient.
“Berbicara tentang sistem pendidikan daring, pasti banyak yang sudah tahu platform Ruangguru, salah satu pionir di bidang pendidikan yang mendisrupsi aktivitas bimbingan belajar. Dulu, peserta didik harus datang langsung ke lokasi bimbel, tapi sekarang bisa dilakukan kapan pun dan di mana pun dengan fleksibel,” jelasnya.

Tidak hanya itu, Ruangguru terus berinovasi menciptakan produk lainnya, seperti Ruangkerja dan Skill Academy sebagai sarana pengembangan hard skill dan soft skill bagi semua kalangan.
Ada juga platform Coursera yang menyediakan berbagai akses pendidikan lengkap, meliputi sertifikasi, pelatihan, sampai online degrees. Inovasi ini menjadikan Coursera sebagai orchestrator bagi para pembelajar di seluruh dunia dan lembaga pendidikan ternama.
“Ini menunjukkan, pendidikan adalah hak setiap individu. Pendidikan semestinya tidak lagi berbatas ruang dan waktu. Pendidikan berbiaya mahal berbasis ruang kelas dan gedung (brick and mortar) bisa jadi lebih murah dengan pembelajaran online,” katanya.
Jika berkaca pada model bisnis Gojek dan beberapa perusahaan start-up, mereka memanfaatkan peluang dari banyaknya aspek yang tidak optimal. Dengan menjamurnya jumlah perguruan tinggi di Indonesia, Budi beranda-andai, dapatkah kondisi ini dijadikan peluang seperti halnya langkah perusahaan start-up?
Di Amerika Serikat, perguruan tinggi mulai mengalami penurunan penerimaan mahasiswa sebesar 8 persen dari rentang 2019-2021. Perguruan tinggi di Australia juga kehilangan pendapatan karena tidak adanya mahasiswa asing akibat dampak Covid-19 yang menyebar ke industri.
Pada 2014, pakar disrupsi dari Harvard University, Prof. Clayton Christensen juga pernah menyebutkan, 10 sampai 15 tahun ke depan, 50 persen dari 4.000 universitas di Amerika Serikat akan mengalami kebangkrutan.
“Jika begitu, model bisnis kampus konvensional dengan biaya tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan tidak akan mampu ditutup dari pendapatan penerimaan mahasiswa,” lanjutnya.
Merenungi First Principle Thinking
First principle thinking pendidikan yang sejatinya adalah proses memberikan pemahaman, pengetahuan, keterampilan, dan karakter ternyata bisa juga dilakukan secara daring.
Meski sebagian pihak mungkin tidak sepakat, tapi faktanya konsumen di industri lain pun lebih memilih ojek online dibanding ojek pangkalan dikarenakan perilaku masyarakat yang semakin mengarah ke digital.
Variabel-variabel seperti melimpahnya jumlah perguruan tinggi dan pengajar, biaya kuliah yang terus naik, munculnya perusahaan start-up pendidikan, prediksi pakar, dan yang terbaru dunia virtual metaverse akan mengakselerasi disrupsi pendidikan, baik di Indonesia maupun global.
Semuanya tentu masih bersifat perkiraan dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memvalidasi keabsahan variabel-variabel yang disebutkan sebelumnya.
“Tapi, menarik untuk ditunggu, akankah perusahaan start-up yang sudah ada akan masuk ke ranah pendidikan tinggi? Atau bakal ada platform baru yang menjadi wadah bagi universitas? Atau kampus-kampus itu sendiri yang terus bersolek dan bertransformasi? Atau malah metaverse datang lebih cepat untuk memberikan layanan pendidikan virtual?” pungkasnya. (Reta)*