BANDUNG, unpas.ac.id – Perusahaan rintisan (start up) yang bergerak di bidang financial technology (fintech) tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. Fintech merupakan hasil inovasi di bidang jasa keuangan yang memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Platform fintech dirancang secara khusus dan detail untuk tujuan transaksi keuangan tertentu. Meski sudah cukup menjamur, namun tidak sedikit masyarakat yang belum memahami jenis dan perkembangan fintech maupun pengawasannya.
Dalam rangka mengedukasi masyarakat tentang fintech, Himpunan Mahasiswa Akuntansi (Himak) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Pasundan mengadakan seminar nasional bertajuk “Terbentuknya Aktualisasi Diri Guna Memaksimalkan Pemahaman Mengenai Pengawasan di Bidang Keuangan dan Perbankan Terhadap Financial Technology”, Selasa (1/3/2022).
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber yang kompeten di bidangnya, yaitu Noviyanto Utomo (Kabag Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank OJK Kanreg 2 Jabar), Zaldy Adrianto (Wakil Ketua The Insititute of Internal Auditors Indonesia-Bandung), dan Nur Islami Javad (Chief DEF Sharing Vision Indonesia dan CEO invst.id).

Ketua Himak FEB Unpas M. Farhan Revta mengatakan, hadirnya fintech memberikan kemudahan dan manfaat bagi masyarakat, terutama dalam percepatan dan efektivitas transaksi keuangan.
“Revolusi industri 4.0 mendorong masyarakat untuk berinovasi. Fintech membuktikan, kemajuan teknologi ternyata juga bisa diterapkan di bidang keuangan dan perbankan. Fintech akan semakin berkembang, maka masyarakat perlu untuk memahaminya lebih jauh,” tuturnya.
Dalam materinya, Noviyanto memaparkan, fintech tidak hanya mempermudah transaksi keuangan, tetapi juga mendukung peningkatan inklusi keuangan, perluasan akses keuangan dan pendanaan di berbagai wilayah, hingga membantu pelaku bisnis memperoleh modal.
“Yang paling terasa, fintech kini menjadi alternatif pembayaran atau pembiayaan selain konvensional. Perputaran ekonomi juga makin cepat karena transaksinya simpel,” katanya.
Di Indonesia, terdapat beberapa jenis fintech, di antaranya Securities Crowd Funding (SCF), e-wallet (dompet elektronik), investasi dan manajemen risiko, P2P lending (termasuk fitur paylater), payment gateway, agregator, dan lain-lain.
“Masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda-beda, namun yang belakangan ini tengah ramai dibahas adalah P2P lending atau pinjaman online,” lanjutnya.
Umumnya, fintech P2P lending menawarkan proses pencairan dana dengan cepat, syarat dokumen mudah, bisa diajukan kapan dan di mana saja, dan pemberi dana dapat memilih borrower yang akan mendapat pendanaan berdasarkan selera risiko.
“Namun, risiko kredit tidak memberikan jaminan pendanaan macet, sehingga sepenuhnya ditanggung oleh peminjam dana. Bunganya relatif tinggi dibanding perbankan atau lembaga pembiayaan. Dana milik lender juga tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),” jelas Noviyanto.
Maraknya fintech P2P lending ilegal yang meresahkan masyarakat juga terus menjadi perhatian OJK. Noviyanto menekankan, masyarakat mesti bisa membedakan antara penyedia pinjol legal dan ilegal.

Agar terhindar dari pinjol ilegal, OJK mengimbau kepada masyarakat untuk tidak mengklik tautan atau menghubungi kontak pada SMS/WA jika ada penawaran pinjol ilegal, segera hapus dan blokir nomor.
“Jangan tergoda tawaran pinjaman cepat dan proses mudah. Cek legalitas perusahaan pemberi pinjaman sebelum memutuskan untuk mengajukan pinjaman,” imbaunya. (Reta)*