Orang Sunda banyak tersebar banyak tersebar dalam berbagai organisasi, apakah orpol atau ormas. Namun, mereka tidak menjadi sebuah kekuatan untuk meningkatkan bargaining position di tingkat nasional. Orang Sunda yang secara kuantitas mencapai 20 persen dari penduduk Indonesia, dalam peranan di tingkat nasional, ternyata di bawah etnis lain yang jumlah penduduknya lebih kecil.
“Berapa orang perwakilan dari masyarakat Sunda yang duduk di kabinet sekarang? Ternyata di bawah lima persen. Padahal jumlah kita 20 persen. Demikian pula di lembaga legislatif, mereka yang mewakili orang Sunda banyak yang berasal dari etnis lain,” demikian diungkapkan H. Edi Darnadi, yang belum begitu lama menjadi orang nomor satu di Partai Amanat Nasional (PAN) Wilayah Jawa Barat, saat bersilaturahmi ke kantor PB Paguyuban Pasundan, Jalan Sumatra, Bandung, awal Februari 2012.
Pada kesempatan itu, Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si. selaku Ketua Umum PB memimpin acara diskusi. Tampak hadir jajaran pengurus PB lainnya, serta para pengurus PAN Jabar ditambah beberapa perwakilan dari kabupaten/kota.
Edi yang mantan Kapolda Jabar ini memaparkan, persoalan seperti yang dikemukakan barusan, pada saat dirinya masih aktif sebagai polisi—apalagi karena sering bertugas di luar Jawa Barat, kurang terperhatikan. Barulah kini terkuak, setelah Edi terjun ke dunia politik. Selama setahun ia terus menyimak keadaan yang terjadi di sekelilingnya. Edi melihat, minimnya bargaining position orang Sunda di antaranya karena faktor tidak bersatu. Di tempat lain, misalnya di Pakanbaru, lanjut Edi, orang Melayu bisa bersatu, sehingga mereka menjadi kuat dalam melakukan bargaining dengan pemerintah pusat. “Sekali-sekali, pusat harus nurut kepada kita, dong. Sebab, kalau posisi orang Sunda masih seperti sekarang, bagaimana dengan nasib anak cucu kita di masa datang?”
Orang Sunda harus bersedia tampil di depan, jangan hanya bisa mengucap, “mangga ti payun” kepada orang lain, yang mengakibatkan kita jadi ketinggalan. Menurut pengamatan Edi, orang Sunda terlalu banyak bercanda, dan pada saat diledek orang pun, malah ikut tertawa. “Misalnya ada orang lain yang mengatakan, orang Sunda cukup di lepas di kebun, pasti bisa bertahan hidup, karena sehari-harinya sering makan lalab. Kalau mendengar ucapan seperti itu, saya tidak akan tertawa, malah bisa marah, lho,” ucapnya serius.
Bagaimana dengan orang Sunda yang menjadi pemimpin di wilayahnya, apakah mereka mampu melakukan bargaining dengan pemerintah pusat? “Ah, paling mereka hanya bisa menekan rakyatnya. Buktinya, pajak kendaraan di Jabar paling mahal dibandingkan dengan wilayah lainnya. Padahal, Jabar kaya dengan sumber alam, belum lagi dengan banyak pabrik. Tapi, karena kita tidak punya posisi bargaining, ya akhirnya hasil dari semua itu dinikmati pusat.”
Karena itu, lanjut Edi, tak ada pilihan lain, kita harus bersatu dalam visi, yaitu bagaimana melakukan upaya untuk meningkatkan martabat Sunda. Silahkan orang Sunda tersebar dalam berbagai wadah dan kekuatan. Tapi, manakala menghadapi kepentingan masyarakat Sunda, semua harus satu visi. Untuk itu, orang Sunda harus meningkatkan keberanian. Jangan hanya menjadi pihak yang didikte saja.
Terhadap pendapat dan unek-unek Edi tersebut, pada intinya peserta diskusi sependapat. Untuk menyusun langkah-langkah strategis, Paguyuban Pasundan sebagai wadah yang memiliki jam terbang hampir seabad sangatlah tepat dijadikan pintu masuk untuk kemudian bersama-sama membangun Indonesia.
“Apa yang dikemukakan Pak Edi, mengat merupakan nilai-nilai strategis, dan harus menjadi kajian kita bersama,” ucap Prof. Didi. Untuk keperluan tersebut, Paguyuban Pasundan secara berkala melakukan diskusi dengan mengangkat berbagai tema aktual.
Terungkap pula dari peserta dikusi, di antaranya yang dikemukakan Mayjen TNI (Purn) Adang S. Wiharta, Paguyuban Pasundan dapat diposisikan secara strategis dalam hal menata kembali konsep ka-Sundaan, terutama dalam menghadapi agenda politik. “Meskipun tidak beratti PP harus terjun ke dalam politik praktis,” ucap kasepuhan dari Subang ini. Maksudnya, yang dilakukan PP adalah politik yang berkiblat kepada kepentingan rakyat. PP harus menjadi pengayom orang Sunda yang berada di jalur politik, selama langkah mereka berpihak pada kepentingan rakyat.***