BANDUNG, unpas.ac.id – Eman Sulaeman hakim yang memimpin persidangan praperadilan Pegi Setiawan tengah menjadi perbincangan di masyarakat. Eman dinilai objektif saat memberikan putusan bebas kepada Pegi Setiawan, Senin (8/7/2024) dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon pada 2016 silam.
Saat persidangan Eman Sulaeman mengabulkan seluruh permohonan praperadilan Pegi Setiawan. Ia menimbang bahwa pemeriksaan diharuskan ada kehadiran tersangka di samping minimum dua alat bukti untuk memberikan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang.
Dalam persidangan hakim yang berusia 49 tahun ini menyampaikan bahwa sebelum ditetapkan tersangka, Pegi Setiawan sudah dapat memberikan keterangan dengan dua alat bukti yang sah yang ditemukan oleh penyidik.
Profil Eman Sulaeman
Eman Sulaeman lahir di Karawang pada 10 April 1975. Hal ini diketahui melalui laman Pengadilan Negeri Bandung. Eman merupakan lulusan S1 Ilmu Hukum Universitas Pasundan pada 1999. Ia juga dikenal berprestasi saat masih sekolah, juara satu sampai tiga selalu didapatkannya.
Eman telah bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di bawah naungan Mahkamah Agung (MA) selama 24 tahun. Sejak 2021, ia ditugaskan di Pengadilan Negeri Bandung. Hakim dengan NIP 197504102000121001 ini memiliki pangkat golongan pembina tingkat I IV/b.
Sebelumnya Eman pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah. Kemudian ia pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama di Indramayu dan Ketua Pengadilan Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur. Pada 2019 hingga 2021 Eman menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Wonosari, Gunung Kidul.
Fakultas Hukum Unpas mengungkapkan kebanggaannya atas prestasi dan integritas yang ditunjukkan Eman Sulaeman selama menjadi hakim. Eman juga telah membawa nama baik dan meningkatkan kredibilitas Unpas.
Putusan Praperadilan Ungkap Banyak Hal

Dekan Fakultas Hukum Unpas Prof. Dr. Anthon F Susanto, S.H., M.Hum mengatakan sejak awal telah memprediksi bahwa putusan praperadilan akan mengungkap banyak hal, termasuk proses pemeriksaan di kepolisian yang mengandung aspek kecerobohan. Menurunya ini menunjukkan bahwa kasus ini telah menjadi kontroversial dan akhirnya masuk ke proses praperadilan.
Terhadap putusan praperadilan dalam kasus penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka dalam kasus Vina memperlihatkan bahwa ada persoalan mengenai validitas alat bukti yang menjadi dasar penetapan tersangka Pegi oleh kepolisian. Persoalan itu yang kemudian digugat oleh pengacara Pegi,” jelas Prof. Anthon saat dihubungi pada Rabu (10/7/2024).
Kemudian Prof. Anthon menjelaskan dalam praperadilan, hakim mengabulkan permohonan pemohon yang artinya hakim berkeyakinan berdasarkan proses pembuktian pada sidang praperadilan bahwa penetapan tersangka Pegi itu cacat hukum dan batal demi hukum. Sehingga menurutnya hal ini tentu memberikan pelajaran berharga bahwa dalam proses penetapan tersangka harus dilakukan secara profesional oleh penyidik Polri.
“Dalam hal ini, tidak hanya memenuhi secara formal minimal dua alat bukti. Namun juga proses pemeriksaan yang dilakukan juga secara substansial harus terpenuhi. Mulai dari pengambilan alat bukti, dalam proses itu harus dilakukan secara profesional. Polri juga harus melakukan evaluasi internal terkait kualitas proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan agar lebih baik kedepannya,” terangnya.
Alasan Hakim Kabulkan Permohonan Pemohon
Sementara itu, terkait putusan yang diberikan oleh hakim Eman Sulaeman menurut Dekan FH Unpas merupakan momentum penting. Sebab sejak awal penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka membuat masyarakat dan beberapa ahli yang melihatnya cukup kontroversial. Sebab hal ini mempersoalkan profesionalitas para penyidik.
“Putusan hakim Eman ini sesungguhnya menggambarkan keberanian dari hakim yang mengadili perkara untuk melihat secara lebih terbuka persoalan apa yang terjadi dalam kasus Pegi,” katanya.
Jika melihat amar putusan secara sepintas di media, Prof. Anthon mengatakan hal tersebut memperlihatkan bahwa hakim menemukan berbagai kejanggalan tentang penetapan tersangka Pegi. Sehingga hakim mengambil keputusan mengabulkan permohonan pemohon.
“Artinya hakim sudah mempertimbangkan dengan pemahaman yang dimilikinya dan kemudian menginterpretasikan melalui keputusan yang diambilnya,” ujarnya.
Prof. Anthon juga memberikan apresiasi kepada penasehat hukum dan hakimnya dalam proses praperadilan ini. Ia juga mendorong agar penyidik Polri terus meningkatkan kualitas penyidikan yang dilakukan dengan lebih profesional, cermat dan ketelitian yang tinggi agar tidak dengan mudah keputusannya digugat dan dibatalkan.
“Sehingga aspek material dan formil dalam proses penetapan tersangka harus diperhatikan. Tentunya nilai-nilai keadilan bagi para pihak dan masyarakat,” tandasnya. (Rani)
