BANDUNG, unpas.ac.id — Universitas Pasundan (Unpas) berkolaborasi dengan Eiger menyelenggarakan Bedah Buku “Menyapa Dewi Langit” karya Fransiska Dimitri Inkiriwang bersama Mathilda Dwi Lestari di Aula Mandalasaba Ir. H. Djuanda, Kampus II Unpas Tamansari, Senin (8/12/2025).
Dalam kesempatan tersebut, Fransiska Dimitri yang akrab disapa Deedee berbagi kisah mengenai petualangannya menaklukkan World 7 Summits, tujuh puncak tertinggi di tujuh benua.
Deedee dikenal sebagai salah satu anggota utama Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Kecintaannya pada alam sejak berkuliah mendorongnya menjalani ekspedisi besar, mendaki gunung-gunung tertinggi dunia.

Bersama timnya, ia sukses mencapai Carstensz Pyramid, Elbrus, Kilimanjaro, Aconcagua, Vinson Massif, Denali, hingga puncak Everest pada 17 Mei 2018. Keberhasilan tersebut menjadikannya bagian dari kelompok perempuan Indonesia pertama yang menyelesaikan tantangan Seven Summits.
Selain aktif mendaki, Deedee rutin berbagi inspirasi melalui forum publik, kegiatan sosial, dan isu konservasi lingkungan. Kiprahnya tidak hanya mengharumkan nama Indonesia, tetapi juga membuka jalan bagi perempuan lain untuk berani bermimpi besar di dunia petualangan.

Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, Kerja Sama, PPM, dan Dana Usaha Unpas, Prof. Dr. H. M. Budiana, S.I.P., M.Si., berharap kegiatan ini memberikan manfaat bagi seluruh peserta.
Dekan FISS Unpas, Budi Setiawan Garda Pandawa, S.Li., M.Sn., M.H., sebagai moderator, menilai buku “Menyapa Dewi Langit” bukan sekadar menceritakan teknis pendakian.
“Buku ini memiliki nilai emosional, ketekunan, dan keberanian. Sangat relevan bagi mereka yang memiliki mimpi besar,” katanya.
Proses Penulisan dan Makna Judul

Dalam sesi diskusi, Deedee yang merupakan lulusan Prodi Hubungan Internasional Unpar, membagikan pengalamannya selama proses penulisan. Ia menjelaskan bahwa ekspedisi Everest memiliki dimensi budaya dan spiritual yang kuat.
“Sebelum naik Everest, ada ritual puja yang dipimpin pendeta setempat. Peralatan pendakian bahkan diberkati di altar,” tuturnya.
Saat ditanya alasan penulisan buku, Deedee menjawab tidak semua orang punya kesempatan seperti ini. Ia ingin membagikan pengalaman, entah menjadi inspirasi atau motivasi. Menulis itu menurutnya bekerja untuk keabadian.
Deede menjelaskan judul “Menyapa Dewi Langit” dipilih karena menggambarkan kerendahan hati para pendaki.
“Judul ini membuat posisi kita kecil. Kita hanya bisa menyapa, bukan mencapai. Everest dikenal dengan nama Dewi, jadi kami memadukannya,” jelasnya.
Proses penulisan buku memakan waktu hampir empat tahun. Bagian tersulit bagi Deedee adalah menggambarkan momen ketika berada di batas hidup dan mati di Everest.
Pesan untuk Mahasiswa Pecinta Alam

Disamping itu, Deedee juga memberi pesan kepada mahasiswa yang gemar kegiatan outdoor agar terus belajar dengan pendampingan yang tepat.
“Pendakian gunung adalah mentorship. Carilah mentor yang baik agar pengalaman kalian lebih menyenangkan,” ujarnya.
Menutup diskusi, Deedee mengungkapkan impian pendakiannya berikutnya adalah Mount Cook (Aoraki) di Selandia Baru, gunung tertinggi di negara tersebut. (Rani)
