BANDUNG, unpas.ac.id – Berdasarkan data yang dihimpun World Health Organization (WHO), lebih dari 496 juta jiwa penduduk usia 15-49 tahun mengalami anemia. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat 3-4 dari 10 remaja dilaporkan menderita anemia. Hal ini menunjukkan bahwa anemia menjadi masalah kesehatan yang perlu ditangani secara serius.
Menurut Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Pasundan dr. Nadjwa Zamalek Dalimoenthe, Sp.PK (K), anemia yang umumnya dikenal sebagai kondisi “kurang darah” memerlukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosisnya.
Untuk menyatakan seseorang memiliki anemia atau tidak, diperlukan pemeriksaan laboratorium yang merujuk pada sedikitnya tiga parameter. Ketiga parameter tersebut yaitu kadar hemoglobin (Hb), persentase hematokrit, dan jumlah sel darah merah. Jika nilai salah satu atau ketiganya rendah, maka seseorang dapat diklasifikasikan sebagai penderita anemia.
“Setelah dilakukan diagnosis, kita harus tahu jenis anemia yang dialami, apakah ringan, sedang, atau berat. Lalu, tingkat keparahan dan penyebabnya. Itu penting untuk menentukan pengobatan yang tepat. Pemeriksaan tambahan seperti ukuran eritrosit dan jumlah sel darah putih (leukosit) juga diperlukan,” ujarnya, dikutip dari Talkshow Ramadan Sehat: Anemia dan Puasa, kolaborasi antara FK Unpas dan Pas Jabar, Senin (18/3/2024).
Ia menambahkan, jenis anemia dilihat dari kadar Hb. Jika kadar Hb masih di angka 12 gram/dL, maka masih dikategorikan anemia ringan. Untuk anemia sedang, kadar Hb 8-12 gram/dL, dan anemia berat di bawah 8 gram/dL.
Di Indonesia, kasus paling banyak yaitu anemia defisiensi zat besi, kemudian thalasemia atau kelainan darah bawaan yang ditandai oleh kurangnya Hb dan jumlah sel darah merah dalam tubuh. Dari penelitian yang ia lakukan di kalangan siswa SMA, 57 persen di antaranya mengalami defisiensi zat besi, namun banyak yang tidak melakukan screening karena merasa tidak bergejala.
“Gejala anemia bisa bervariasi. Kalau seseorang merasa dia terkena gejala anemia, dokter biasanya langsung memeriksa matanya, karena mata akan lebih pucat, begitu juga wajah dan kukunya. Setelah screening awal, baru kita bisa cek laboratorium,” tambahnya.
Puasa bagi Penderita Anemia
Bagi penderita anemia, terutama anemia sedang dan berat, berpuasa dapat menjadi hal yang berisiko, karena harus menjalani terapi secara rutin. Sementara penderita anemia ringan masih diperbolehkan berpuasa, dengan catatan kadar Hb masih di atas 11 gram/dL. Kendati demikian, sebelum berpuasa disarankan untuk konsultasi dengan dokter.
“Meski boleh berpuasa, tapi dia (penderita anemia ringan) harus memastikan pola makan yang seimbang, bergizi, dan nutrisinya terpenuhi. Perhatikan kombinasi makanannya, pastikan terdapat kandungan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Minimal konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi, seperti daging dan sayuran hijau, suplemennya juga jangan sampai lupa,” katanya.
Ia berharap, kesadaran di masyarakat dapat terbangun, sehingga muncul upaya preventif untuk mengurangi angka kasus anemia. Di samping itu, perluasan akses terhadap layanan kesehatan yang mendukung pemeriksaan anemia di daerah-daerah terpencil juga penting dalam penanganan anemia.
Jika tidak segera ditangani, anemia akan merugikan penderitanya. Karena tubuh memerlukan pasokan oksigen yang cukup. Sel darah merah berperan mengikat ksigen yang dihirup dari udara. Apabila jumlah sel darah merah tidak mencukupi, maka aliran oksigen ke seluruh tubuh akan terganggu dan memengaruhi kesehatan maupun kinerja tubuh.
“Apalagi pada kasus thalasemia. Seharusnya sebelum pernikahan, ada screening pra nikah untuk mendeteksi thalasemia, supaya tidak muncul thalasemia mayor yang terjadi akibat pernikahan sesama penderita thalasemia minor,” tandasnya. (Reta)**
