BANDUNG, unpas.ac.id – Bandung Raya saat ini tengah menghadapi kondisi darurat sampah yang mengkhawatirkan. Tumpukan limbah rumah tangga dan pasar kini menggunung di berbagai lokasi strategis, menjadi potret nyata dari krisis pengelolaan sampah yang belum terselesaikan.
Hal ini disampaikan oleh Dosen Komunikasi Krisis dan Bencana Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pasundan (Unpas) Dhini Ardianti, S.Sos., M.I.Kom.
Dhini menyebut Pasar Caringin dan Pasar Gedebage menjadi dua titik krusial yang memperlihatkan betapa buruknya situasi. Di Pasar Gedebage, penumpukan mencapai 600 ton pada April 2025 akibat kerusakan mesin pengolahan dan terganggunya distribusi ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti. Di Pasar Caringin, volume sampah bahkan mencapai 4.000 meter kubik, diperparah oleh kebiasaan warga membuang sampah secara ilegal.
Sampah yang tidak terangkut di kawasan pemukiman pun menimbulkan bau menyengat dan potensi wabah penyakit. Kebijakan administratif seperti denda telah dijatuhkan, namun belum efektif meredam krisis. Di balik semua ini, persoalan komunikasi yang tidak berjalan baik antar pihak menjadi salah satu akar masalah utama.
“Masalah sampah bukan hanya teknis, ini juga persoalan komunikasi,” ujar Dhini Ardianti,
Ia menekankan pentingnya pendekatan komunikasi konstruktif, di mana setiap pemangku kepentingan yakni pemerintah, warga, pengelola pasar, dan pedagang harus dilibatkan dalam dialog untuk membentuk pemahaman dan solusi bersama.
Solusi Butuh Partisipasi Kolektif
Forum warga, musyawarah kewilayahan, hingga grup diskusi digital seperti WhatsApp dapat menjadi ruang strategis untuk merumuskan solusi. Menurut Dhini, edukasi publik harus menjangkau hingga level RT/RW dan komunitas pasar, dengan program yang menyentuh isu bahaya pembuangan sembarangan dan pentingnya pemilahan sampah.
Pembentukan kelompok swadaya masyarakat (KSM) atau satgas kebersihan lokal juga menurutnya bisa menjadi pilar dalam pengelolaan sampah berbasis komunitas. Selain itu, penguatan gerakan seperti KangPisMan (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan) dan implementasi kebijakan “Tidak Dipilah, Tidak Diangkut” menjadi strategi penting dalam perubahan perilaku masyarakat.
Literasi Lingkungan Masih Rendah
Dhini menyampaikan tantangan besar lainnya adalah rendahnya literasi lingkungan di kalangan warga. Dampak jangka panjang dari sampah yang tidak terkelola, seperti pencemaran air tanah dan penyebaran penyakit, belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Edukasi harus dilakukan secara partisipatif dan kontekstual, termasuk pelatihan langsung seperti komposting, magotisasi, dan pengelolaan bank sampah.
“Tokoh masyarakat, guru, hingga ibu-ibu dasawisma memiliki peran strategis dalam mengubah perilaku komunitas melalui komunikasi dari warga ke warga (peer-to-peer). Kampanye kreatif lewat mural, seni pertunjukan, hingga media sosial komunitas juga efektif bila disampaikan oleh figur yang dipercaya,” kata Dosen Ilkom Unpas ini.
Teknologi Saja Tidak Cukup
Pemkot Bandung memang tengah membangun fasilitas seperti incinerator dan pusat pengolahan sampah. Namun, Dhini mengingatkan bahwa teknologi tidak akan berarti tanpa perubahan perilaku dan komunikasi publik yang efektif. Ia mengutip teori dialogik Paulo Freire, yang menekankan pentingnya pendidikan kritis dan pengalaman langsung dalam membentuk kesadaran ekologis.
“Komunikasi publik perlu menjembatani ketimpangan informasi. Banyak warga belum mengetahui ke mana harus melapor jika TPS penuh, atau siapa yang bertanggung jawab atas pengangkutan. Kanal informasi publik harus diperkuat dan pemerintah perlu hadir secara aktif dan responsif,” tegasnya.
Ekosistem Komunikasi yang Berkelanjutan
Dhini menekankan pentingnya sinergi lintas sektor antara pemerintah, LSM, akademisi, komunitas lokal, dan media untuk membangun ekosistem komunikasi lingkungan yang memberdayakan. Strategi komunikasi pun harus menyesuaikan nilai budaya lokal, pendekatan visual yang menarik, dan pemanfaatan teknologi informasi.
“Pengelolaan sampah bukan beban pemerintah semata, tapi tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat. Budaya bersih dan berkelanjutan harus menjadi gaya hidup masyarakat Bandung yang modern, sehat, dan sadar lingkungan,” pungkasnya. (*/Rani)

