BANDUNG, unpas.ac.id — Penguatan integritas penyelenggara pemilu menjadi isu krusial dalam menjaga keberlanjutan demokrasi Indonesia. Di tengah meningkatnya tantangan politik elektoral, kepercayaan publik terhadap proses dan aktor pemilu dinilai sebagai fondasi utama bagi lahirnya demokrasi yang bermartabat dan berkeadilan.
Berangkat dari semangat hal itu, Universitas Pasundan (Unpas) bekerja sama dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar seminar nasional bertema “Integritas Penyelenggara Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Indonesia” di Aula Mandala Saba Ir. H. Djuanda, Kampus II Unpas Tamansari, Selasa (16/12/2025).

Rektor Unpas Prof. Dr. H. Azhar Affandi, S.E., M.Sc., dalam sambutannya menegaskan bahwa seminar ini sangat relevan dengan kondisi demokrasi Indonesia saat ini. Ia menyampaikan apresiasi kepada DKPP atas sinergi dan kerja sama yang terjalin bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpas dalam upaya memperkuat tata kelola demokrasi yang berintegritas.

Menurutnya, kolaborasi antara dunia akademik dan lembaga negara merupakan wujud nyata peran strategis perguruan tinggi dalam menjaga demokrasi. Integritas, kata Prof. Azhar, merupakan pondasi utama untuk menjaga kepercayaan publik serta memastikan suara rakyat benar-benar menjadi penentu arah masa depan bangsa.
Perguruan tinggi menurutnya memiliki tanggung jawab moral untuk terus mengkaji, mengkritisi, dan mengambil peran aktif melalui pendidikan serta pengabdian kepada masyarakat demi demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.

Seminar tersebut menghadirkan Anggota DKPP RI, Dr. Ratna Pettalolo, S.H., M.H., sebagai keynote speaker. Dalam paparannya, Ratna menegaskan bahwa integritas penyelenggara pemilu merupakan variabel determinan dalam penguatan demokrasi. Integritas menjadi jembatan antara legitimasi prosedural dan legitimasi substantif, sehingga pemilu tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil dan bermoral.
Ratna menambahkan, refleksi atas Pemilu dan Pilkada 2024 menunjukkan bahwa tantangan terhadap integritas penyelenggara pemilu masih nyata. Namun, mekanisme etik yang dijalankan DKPP dinilai memiliki peran penting dalam menjaga demokrasi tetap bermartabat.
Menurut Ratna, demokrasi Indonesia hanya dapat berakar kuat apabila integritas menjadi DNA kelembagaan setiap penyelenggara pemilu, bukan sekadar slogan moral.

Ketua KPU Jawa Barat, Ahmad Nur Hidayat, yang juga menjadi narasumber, menyoroti pentingnya netralitas dan profesionalisme penyelenggara pemilu. Ia menyatakan bahwa persoalan utama demokrasi Indonesia bukan terletak pada pemilunya, melainkan pada tingkat kepercayaan publik. Kepercayaan tersebut sangat ditentukan oleh integritas penyelenggara serta konsistensi penerapan aturan dan sistem pemilu.
“Etika tanpa kompetensi akan rapuh, sementara kompetensi tanpa etika akan berbahaya,” ujarnya.
Menurut Ahmad, penyelenggara pemilu yang berintegritas akan melahirkan pemilu yang dipercaya publik, sehingga menghasilkan legitimasi, stabilitas politik, dan keberlanjutan demokrasi.

Ketua Bawaslu Provinsi Jawa Barat, H. Zacky Muhammad Zam Zam, S.Ps.I., M.M.Pd., menekankan bahwa pemilu merupakan pilar utama demokrasi dan integritas menentukan kualitasnya. Ia memaparkan berbagai tantangan pemilu yang semakin kompleks, mulai dari politik uang, penyalahgunaan wewenang, hingga persoalan netralitas penyelenggara.

Zacky menjelaskan bahwa di tengah kompleksitas tersebut, Bawaslu tidak hanya berperan sebagai pengawas, tetapi juga sebagai pengawal etika dan moral demokrasi. Penguatan integritas penyelenggara, pengawasan partisipatif, serta inovasi sistem pengawasan menjadi langkah strategis untuk meningkatkan kepercayaan publik dan legitimasi hasil pemilu. Namun demikian, keberhasilan menjaga integritas pemilu memerlukan sinergi seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat.

Sementara itu, Dekan FISIP Unpas, Dr. Kunkunrat, M.Si. membahas tema “Demokrasi dan Imparsialitas. Ia mengutip pemikiran David Beetham yang menekankan political equality dan popular control sebagai elemen utama demokrasi, serta pandangan S. Martin Lipset mengenai syarat tumbuhnya demokrasi, yakni kesejahteraan, masyarakat terdidik, dan kelas menengah yang memadai.
Dr. Kunkurat juga menyoroti pentingnya sikap imparsial dan profesionalitas dalam penyelenggaraan pemilu, terutama di tengah tantangan bonus demografi. Bonus demografi dinilai menjadi peluang besar untuk meningkatkan partisipasi politik, namun juga berpotensi menjadi bumerang jika tidak dikelola dengan baik, khususnya terkait kualitas pendidikan, lapangan kerja, serta kesenjangan sosial dan ekonomi.
Seminar ini diharapkan tidak hanya memperkaya pengembangan keilmuan, tetapi juga berkontribusi nyata dalam penguatan demokrasi, sekaligus memperkokoh semangat berbangsa dan bernegara. (Rani)
