Sebagai sebuah negara, Korea Utara memang belum terbuka. Pemerintahannya sering dianggap otoriter, sehingga tidak ada demokrasi. Namun ternyata pembangunan di negara ginseng bagian utara itu bisa berjalan cepat. Misalnya saja kota dengan ratusan gedung bisa diselesaikan dalam waktu sekitar dua tahun saja.
“Menurut pengamatan saya, yang menjadi kuncinya adalah mereka sangat fokus,” ucap Duta Besar RI untuk Korea Utara, Berlian Napitupulu di hadapan para mahasiswa Prodi Hubungan Internasional (HI) FISIP Universitas Pasundan Bandung yang memenuhi aula R. Suradiraja, Kampus I Unpas, Jalan Lengkong Besar, Bandung, hari Jumat 6 Desember 2019.
Dikatakannya pula, meskipun pemerintah Korea Utara dinilai otoriter, namun kondisi kehidupan masyarakat sehari-hari di sana justru sangat aman. “Demikian pula kondisi lalu lintasnya pun tertib,” ucapnya lagi.
Acara kuliah umum tersebut berjudul “Arah Kerjasama Indonesia – Korea Utara”, secara resmi dibuka oleh Dekan FISIP Unpas, Dr. M. Budiana, SIP, M.Si. Pada kesempatan itu, selain Dubes untuk Korea Utara, tampil pula menjadi nara sumber Dr. Yusa Djuyandi (dosen FISIP Unpad), dan Dr. Ade Priangani (Ketua Prodi HI FISIP Unpas). Acara dipandu oleh dosen FISIP Unpas, Drs. Sigid Harmurti, M.I.Pol.
Dekan FISIP menyampaikan terima kasih kepada para pembicara. “Khususnya kepada Pak Berlian Napitupulu yang di sela-sela kesibukannya masih bisa menyempatkan datang untuk memenuhi undangan kami. Apa yang akan dipaparkan tentulah sangat berharga bagi kita,” ucap Budiana.
Dikatakannya pula, sebagai Duta Besar, tentu banyak pengalaman yang diperoleh selama melanglang buana. “Jadi, kepada para mahasiswa, harap disimak betul-betul paparan dari beliau ini,” ucapnya lagi.
Pada kesempatan tersebut, Dekan FISIP memberikan plakat kenang-kenangan, sebelum kuliah umum dimulai.
Tentang Korea Utara ini tidak banyak yang diungkap oleh Berlian Napitupulu, karena memang negaranya masih tertutup. Jadi harus ekstra hati-hati. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi Indonesia untuk melakukan kerjasama.
Indonesia mulai membuka hubungan dengan Korea Utara sejak tahun 1961. Pada tahun 1964, Presiden Sukarno pernah mengadakan kunjungan kenegaraan ke Korea Utara, zaman Presiden Kim Il Sung berkuasa di sana.
Dalam paparannya, Berlian Napitupulu lebih banyak bercerita tentang keadaan di Kanada, Korea Selatan, Rusia, dan Filipina. Apa yang diungkapkannya itu tentu dilatar-belakangi oleh tugasnya sebagai diplomat yang sering berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Apa yang disampaikannya itu lebih tepat sebagai bahan perbandingan bagi masyarakat Indonesia. Di Kanada, misalnya, keadaannya sangat aman, sehingga rumah pun tak perlu diberi pagar. “Rumah yang dipagar hanya yang ditempati Gubernur Jenderal,” ucapnya.
Kanada itu wilayahnya mencapai 16 juta km2, sedangkan penduduknya hanya 30 juta jiwa. Kanada banyak memiliki sumber daya alam. Berbeda dengan Korea Selatan, wilayahnya yang bisa ditanami hanya sekitar 20 persen saja karena keadaannya, serta tidak memiliki sumber daya alam. Mereka tidak punya tambang besi, tapi berhasil sebagai penghasil baja peringkat ketiga di dunia.
Menurut Berlian Napitupulu, kunci utamanya adalah masyarakat Korea Selatan sangat menjunjung tinggi pendidikan. Guru sangat dihormati, serta menempati strata paling tinggi. Selain itu, orang Korea Selatan selalu merasa dalam keadaan bersaing, sehingga mereka energik. Hal itu karena mereka menganggap adanya ancaman dari saudaranya sendiri di Korea Utara.
“Rusia adalah negara yang sangat luas dengan tujuh zona waktu. Jika kita terbang dari Moskow menuju Vladivostok, jarak tempuhnya mencapai sembilan jam, padahal itu ada di satu wilayah negara,” ucapnya. Sainsnya sangat kuat, orang Rusia belajar lebih spesifik, sehingga mereka betul-betul menjadi seorang ahli di bidangnya. Di sana, kedokteran sudah menjadi universitas, bukan lagi fakultas. Demikian pula ada universitas transportasi. Kelemahannya adalah dalam hal nasionalisme yang rapuh, sehingga sering terjadi perang saudara.
Ketika Gorbachev sebagai pemimpin tertinggi menerapkan glasnot dan perestoika (keterbukaan politik dan restrukturisasi ekonomi), justru Uni Sovyet pecah menjadi 16 negara, yang satu sama lainnya terjadi perang saudara dalam waktu cukup lama.
Kondisi seperti itu sama dengan yang terdapat di Mindanao Filipina yang sejak cukup lama dilanda konflik berkepanjangan. Namun, ungkap Napitupulu, meski dalam keadaan konflik, orang Filipina memiliki rasa percaya diri yang kuat, serta berani tampil. Mereka mempunyai kemampuan untuk menceritakan fakta, sehingga bisa lebih menarik lagi.
Tentu saja, dikatakan Berlian Napitupulu, hal-hal yang dianggap bagus dari bangsa lain itu patut kita tiru, untuk mencapai kemajuan bangsa Indonesia. “Saat ini, ekonomi Indonesia berada pada peringkat ke-15 dunia. Pada tahun 2030, Indonesia harus berada pada kelompok empat besar dunia,” ucapnya lagi.*** (TS)