BANDUNG, unpas.ac.id – Stunting atau kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis masih menghantui Indonesia karena jumlah penderitanya yang cukup besar. Stunting mengakibatkan tinggi badan anak terlalu pendek untuk usianya, bahkan bisa diikuti dengan gangguan kecerdasan anak.
Kondisi tersebut dipicu beberapa faktor, meliputi infeksi kehamilan, malnutrisi pada ibu hamil, gizi bayi yang tidak optimal sejak lahir sampai tiga tahun pertama, atau stimulasi yang buruk dari lingkungan.
Untuk mencegah permasalahan tersebut, prodi Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Pasundan melaksanakan pengabdian masyarakat di Desa Sanca, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Selasa (5/7/2022).
Berdasarkan hasil survei, Desa Sanca memiliki 8 posyandu di tiap RW yang pada 2021 lalu dikategorikan sebagai posyandu mandiri. Namun, jadwal buka posyandu belum sesuai dengan keinginan masyarakat karena ditentukan oleh puskesmas atau desa.
Peran Kader Posyandu Belum Maksimal
Ketua Tim PKM sekaligus Wakil Dekan III FISIP Unpas H. R. Sumardhani, M.Si. mengatakan, jumlah kader yang aktif di setiap posyandu hanya 5 orang. Bahkan, masih ada posyandu yang kesulitan menjaring kader untuk melakukan pengukuran antropometri.
“Kader posyandu bertugas menyelenggarakan pelayanan kesehatan ibu dan anak, seperti penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan dan lingkar kepala anak, mendeteksi perkembangan anak, hingga memantau status imunisasi dan tindakan orang tua tentang pola asuh anak,” ujarnya.
Kader juga berperan memberikan layanan konsultasi, konseling, diskusi kelompok, atau demonstrasi bersama orang tua balita. Kader posyandu diharapkan bisa mengedukasi dan memotivasi orang tua balita agar terus menerapkan pola asuh yang baik pada anaknya.
“Dengan berbagai posisi penting itu, kader posyandu punya peran besar dalam mencegah dan mengedukasi stunting. Kemampuan dan keterampilan mereka harus dikembangkan agar dapat berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan masyarakat,” terangnya.
Dari pantauan di lokasi, kata dia, penyuluhan kesehatan gizi di posyandu Desa Sanca masih mengalami sejumlah hambatan, baik dari keterbatasan pemahaman orang tua balita maupun kader posyandu.
“Secara kualitas dan kuantitas, kemampuan menyampaikan informasi dan materi penyuluhan kesehatan gizi dari kader posyandu masih minim karena kurangnya pelatihan, keterbatasan pengetahuan, dan tingkat pendidikan rendah,” jelasnya.
Sumardhani menambahkan, kegiatan ini menggunakan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) yang memungkinkan masyarakat bersama-sama menganalisis masalah kesehatannya guna merumuskan perencanaan dan kebijakan nyata.
“Kami ingin menjadikan Desa Sanca bebas stunting. Dengan metode tanya jawab dan diskusi interaktif, kami harap pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai stunting bisa semakin baik,” katanya. (Reta)**