Para narasumber, moderator dan Ketua Umum Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. HM Didi Turmudzi, M.Si.*
Kontrak sesama suku bangsa yang kemudian melahirkan Indonesia tidak boleh dilanggar. Kalau hal itu sampai terjadi, maka bangsa Indonesia akan mengalami disintegrasi. Ketidak-adilan merupakan faktor utama terjadinya perpecahan bangsa. Demikian dikatakan Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si. pada acara Silaturahmi dan Dialog Politik yang diselenggarakan pada hari Jumat 16 November 2017 di aula pascasarjana Unpas, Jalan Sumatera 41, Bandung.
Acara yang bertajuk”Menyongsong Pilkada Jabar 2018 yang Répéh Rapih Lulus Banglus” ini merupakan kerjasama Paguyuban Pasundan dengan KPU Jabar. Tampak hadir dari kalangan parpol dan kepolisian yang memang amat terkait dengan penyelenggaraan pilkada serentak yang akan digelar tahun depan (2018).
Pada kesempatan itu, selain Prof. Didi Turmudzi, tampil dua pembicara lainnya, yaitu Dr. Indra Prawira, SH, MH, serta Agus Rustandi yang bertugassebagai Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Jabar. Kegiatan diskusi dimoderatori Dr. Yaya M. Abdul Aziz, M.Si. yang sehari-harinya sebagai dosen Universitas Pasundan.
Ketua Umum Paguyuban Pasundan Prof. Dr. HM Didi Turmudzi, M.Si (tengah), Rektor Universitas Pasundan Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp, M.Si., M.Kom (kiri) dan peserta diskusi.*
Menyikapi pilkada serentak tahun depan, Prof. Didi menegaskan bahwa masyarakat Jawa Barat mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu ramah dan toleran. “Siapa pun yang datang ke sini, akan diterima dengan tangan terbuka,” katanya.
Dikatakannya bahwa paradigma baru dalam kehidupan berbangsa merupakan sebuah keharusan, yaitu dari saya berubah menjadi kami, lalu berubah lagi menjadi kita. Kalau merasa sudah menjadi “kita”, maka Pilkada 2018 akan menjadi peristiwa yang bermanfaat.
“Untuk itulah, Paguyuban Pasundan selalu mengajak kepada semua agar nu jauh urang deukeutkeun, geus deukeut urang paheutkeun, geus paheut urang layeutkeun, geus layeut urang digawé babarengan. Masyarakat berpegang pada pedoman akur jeung dulur, ngajaga lembur, panceg ‘na galur. Karen mesti akur jeung dulur, maka pelaksanaan pilkada harus didasari sikap silih asih, silih asuh, silih asah,” ucapnya.
Dalam prinsip ngajaga lembur, jangan sampai di Jawa Barat ada subkultur yang hilang akibat kekalahan dalam pilkada, karena memisahkan diri untuk menjadi provinsi. Di Jawa Barat sendiri kini sedang dibangun beberapa megapolitan yang menghabiskan lahan ribuan hektar. “Ini bisa menjadi rawan,” ucap Prof. Didi. Karena itu, untuk pemimpin Jawa Barat yang akan datang mesti memiliki karakter petarung, pantang menyerah, punya budaya bisnis yang tinggi, serta ilmu yang hebat.
Sebelumnya dikatakan moderator bahwa biaya pilkada di Jawa Barat mencapai tiga trilyun rupiah. “Sangat mahal, kalau pilkada tidak melahirkan pemimpin yang berkualitas,” ucap Yaya Abdul Aziz. Apalagi kalau pilkada melahirkan insiden seperti yang terjadi di beberapa daerah lain, biaya akan lebih mahal lagi, karena akan terjadi konflik horisontal di masyarakat.
Menurut Indra Prawira, bagaimana peristiwa pilkada, hal itu tergantung kepada kita sendiri dalam menyikapinya. “Serta tergantung kepada persepsi kita,” ucapnya.
Pilkada adalah suksesi kepemimpinan daerah yang tertib dan beradab. Pilkada diselenggarakan untuk memenuhi hak-hak konstitusional warga. Kepentingan dalam pilkada hanyalah untuk pemilih dalam menentukan pemimpin.
“Kalau bagi pemimpinnya itu sendiri kan tergantung kepada garis tangan dan campur tangan,” ucapnya lagi.
Demokrasi memang merupakan keterwakilan mayoritas, Namun kalau kita melihat perkembangan demokrasi di negara lain yang sudah maju sebetulnya sudah terjadi pergeseran, dari demokrasi politik kepada demokrasi ekonomi. “Jauh-jauh sebelumnya, Bung Karno dan Bung Hatta sudah mengingatkan hal itu,” ucap Indra.
Yang namanya stabilitas itu lebih ke urusan perut, yaitu terkait dengan kesenjangan sosial. Dan hal itu adalah ekonomi. “Karena itulah, pilkada jangan dijadikan sebagai beban. Biasa-biasa saja, tidak perlu jor-joran. Pilkada itu proses yang sederhana. Jadi, kita sikapi saja secara wajar, dan tidak perlu jika sampai ada fatwa ulama,” ujarnya.
Indra selanjutnya menyatakan bahwa pilkada akan mengganggu ketertiban umum jika partisipasi menjadi mobilisasi, dukungan menjadi transaksi, independensi menjadi tendensi, transparasi menjadi manipulasi, advokasi menjadi provokasi. Hal itu semua akan menjadi public distrust atau ketidak-percayaan publik.
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan dua narasumber sebelumnya, menurut Agus Rustandi, pilkada tidak perlu disikapi sebagai sesuatu yang genting. Dikatakannya juga, aturan perundang-undangan tentang pelaksanaan pilkada kini semakin diperjelas. “Misalnya saja larangan mahar politik atau politik uang, serta larangan menggunakan program dan anggaran yang bersumber dari APBN atau APBD. Kalau sampai terjadi politik uang, maka pasangan calon yang bersangkutan bisa dibatalkan,” ucapnya.
KPU di dalam melaksanakan tugasnya berpegang pada kepastian hukum, penyelenggaraan yang netral dan berintegritas, serta seimbang dan toleran.*** (TS)