BANDUNG, unpas.ac.id – Penyidikan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo masih bergulir. Kejaksaan dianggap dapat ambil peran dalam melakukan penyidikan kasus yang semakin pelik.
Hal tersebut diungkapkan Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Laksda (Purn) Soleman B. Ponto dalam diskusi panel bertajuk “Extra Judicial Killing: Perlukah Penyidikan Lanjutan?” di Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Jumat (23/9/2022).
Hadir pula sebagai narasumber Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dan Wakil Dekan I FH Unpas Dr. Hj. Dewi Asri Yustia, M.H.
Soleman Ponto menuturkan, kejaksaan perlu terlibat lantaran ada situasi psikologi atau code of silence di kepolisian. Dalam kasus ini, ia melihat adanya kemungkinan penghilangan barang bukti, rekayasa kasus, hingga kepentingan perorangan atau kelompok.
“Untuk mencegah kasus Sambo terulang kembali, pemeriksa dan terperiksa jangan berada di satu sistem atau beda institusi. Pelaku pembunuhan adalah anggota Polri dan penyidikan dilakukan oleh Polri. Inilah kenapa penyidikan mesti dilanjutkan kejaksaan supaya tidak terjadi code of silence,” paparnya.
Dia menambahkan, kewenangan jaksa untuk melakukan penyidikan kasus tertentu bisa dimanfaatkan dalam penyidikan lanjutan di kasus extra judicial killing (pembunuhan di luar perintah pengadilan) yang dilakukan anggota Polri.
Perlu Penyidikan Lanjutan
Sementara itu, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menambahkan, pada kasus Sambo, pelaku pembunuhan tidak bisa lepas dari jeratan hukum, meski dalam praktiknya pelaku diperintah oleh atasan.
“Di kasus pembunuhan, meskipun diperintah atasan, apakah pelaku boleh dimaafkan atau dihilangkan kesalahan pidananya? Di beberapa yurisprudensi tidak bisa. Beda dengan pelanggaran biasa yang bisa dimaklumi, tapi untuk extra judicial killing itu termasuk pembunuhan dengan kehendak,” jelasnya.
Usman juga mendorong agar kejaksaan melakukan penyidikan lanjutan dengan menyoroti aspek pelanggaran HAM yang mesti ditindaklanjuti.
“Menurut saya perlu penyidikan lanjutan, karena ada perbedaan aspek materil dari pelanggaran HAM yang berat menurut UU HAM dan pelanggaran HAM berat menurut UU Pengadilan HAM,” katanya.
Peran Kejaksaan
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengatakan, penyidikan dan penuntutan bukan proses check and balance karena segala hasil dari penyidik akan menjadi tanggung jawab penuh Jaksa Penuntut Umum ketika perkara tersebut dihadirkan ke ruang persidangan untuk dipertahankan.
“Check and balance sejatinya berada di pengadilan sebagai ujung penyelesaian perkara pidana dalam menguji kebenaran atas fakta hukum yang diajukan,” ujarnya.
Hasil pekerjaan dan penuntut umum merupakan satu kesatuan bagi premis tesis yang akan yang akan di check and balance dari bantahan penasihat hukum sebagai antitesis, kemudian diperiksa dan diadili oleh hakim menjadi sebuah sintesis.
Barita menekankan, dalam penyelesaian kasus memang harus melibatkan peran aparat penegak hukum (kejaksaan) karena telah memiliki payung hukum. “Inilah yang memungkinkan tegaknya hukum dari suatu kasus,” lanjutnya.
Wakil Dekan I FH Unpas Dr. Hj. Rd. Dewi Asri Yustia, M.H. menyampaikan, sebagai lembaga akademik, FH Unpas mempunyai kewajiban untuk membahas isu terkini agar membuka cakrawala yang lebih luas.
“Kami mengangkat kasus yang sedang panas di masyarakat karena berkaitan dengan kinerja dan kualitas aparat penegak hukum. Hasil diskusinya akan diberikan kepada Polri dan Kejaksaan supaya menjadi rekomendasi dalam proses penegakan hukum yang berjalan,” tandasnya. (Reta)**