Dosen Fakultas Teknik Universitas Pasundan, Hary Pradiko, meraih gelar doktor Teknik Lingkungan. Ia berhasil mempertahankan disertasinya berjudul “Drainase Berwawasan Lingkungan Kawasan Bandung Utara- DAS Cikapundung Hulu di Cekungan Bandung” pada sidang terbuka di Sekolah Parcasarjana Institut Teknologi Bandung, Sabtu 4 Februari 2017 dengan Promotor Prof. Dr. Ir. Arwin Sabar, MS., Ko-Promotor 1 Prof. Dr. Ir. Prayatni Soewondo, M.Sc dan Ko-Promotor 2 Dr. Ir. Yadi Suryadi, MT.
Hary Pradiko tercatat sebagai doktor ke 42 di Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung.
Dr. Hary Pradiko (kanan) bersama Dekan Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung Dr. Yudi Garnida, MS selesai sidang terbuka.*
Latar Belakang
Sumber daya air di suatu daerah dapat kembali seperti kondisi sebelumnya melalui mekanisme pergerakan air dari satu tempat ke tempat lain dalam suatu siklus. Sumber daya air dapat didefinisikan sebagai sumber daya alam yang dapat diperbarui melalui siklus hidrologi, yang dipengaruhi oleh perubahan iklim dan konversi lahan, membentuk rezim hidrologi tercatat di data historikal hidrologi dimana komponennya berkarakter acak dan stokastik (Arwin & Plamonia, 2012).
Perubahan gerak dan distribusi air ini dipengaruhi oleh adanya hujan ekstrim dan konversi lahan dari hutan menjadi terbangun. Curah hujan menjadi lebih ekstrim dari sebelumnya. Saat musim kemarau semakin lama, sedangkan saat musim hujan, curah hujan semakin tinggi, sehingga pada curah hujan ekstrim basah menimbulkan bencana banjir (Tjasjono & Gernowo, 2008).
Bila ditinjau dari konversi lahan, perubahan tutupan lahan dari yang kurang kedap menjadi kedap, terutama di daerah perkotaan, akan mempengaruhi gerak air di muka bumi. Dengan semakin kedapnya permukaan tanah, maka semakin sedikit air yang meresap ke dalam tanah dan semakin banyak air hujan yang melimpas.
Pemicu timbulnya potensi genangan dan banjir di kawasan perkotaan antara lain adalah peningkatan jumlah penduduk yang akan meningkatkan berbagai macam kebutuhkan seperti kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal, sehingga pada akhirnya akan membutuhkan lahan yang meningkatkan konversi lahan dan koefisien limpasan.
Upaya telah banyak dilakukan, di antaranya dengan tindakan teknis/struktural maupun non teknis/non struktural. Akan tetapi hasil yang didapat belum optimal. Hal ini disebabkan karena penanganan yang dilakukan masih bersifat kuratif, artinya penanganan dilakukan untuk mengelola banjir agar tidak berdampak merugian dan mengganggu aktifitas masyarakat dan bukan untuk mengelola penyebab banjir yang ada di daerah tangkapan air.
Selama penyebab banjir tersebut tidak dikelola dengan baik, maka banjir akan tetap terjadi dan terulang, bahkan semakin parah. Penanganan yang tidak tepat juga dapat menimbulkan masalah banjir baru yang mungkin yang lebih besar dampaknya.
Sebagai daerah kajian dipilih kawasan permukiman perkotaan di DAS Cikapundung Hulu – Kawasan Bandung Utara (KBU), yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Jawa Barat No. 1 tahun 2008 sebagai kawasan konservasi air. Untuk keperluan analisis terkait perubahan komponen hidrologi (hujan dan debit) yang terjadi di KBU, maka dipilih kawasan permukiman perkotaan di DAS Cikapundung karena selain telah timbul beberapa permasalahan, DAS Cikapundung mempunyai catatan hujan dan debit yang cukup lengkap, sehingga memungkinkan untuk melakukan analisis hidrologi di daerah tersebut.
Permasalahan pokok dalam mempertahankan fungsi hidrologi suatu kawasan konservasi KBU dan infrastruktur drainase kawasan permukiman perkotaan DAS Cikapundung Hulu – KBU adalah :
Pengaruh climate change dan konversi lahan menyebabkan terjadi debit air ekstrim (perubahan watak aliran), sehingga meningkatnya ancaman banjir dan kekeringan berdampak pada degradasi fungsi Infrastruktur SDA (Arwin, 2009). Bagaimana pengaruh ekstrimitas hujan dan debit serta konversi lahan terhadap degradasi infrastruktur SDA?
Hujan ekstrim, konversi lahan dari hutan menjadi terbangun, dan pengendalian limpasan di permukiman perkotaan dengan sistem drainase permukiman / perkotaan mengakibatkan perubahan karakteristik DAS yang mempersingkat waktu perjalanan air menuju saluran dan mengurangi jumlah air yang dapat meresap ke dalam tanah. Faktor-faktor apa saja yang dapat mengakibatkan perubahan karakteristik DAS yang perlu dipertimbangkan dalam pengendalian limpasan di permukiman perkotaan?
KBU sebagai kawasan konservasi air di Cekungan Bandung, mengalami pertumbuhan dan perkembangan penggunaan lahan yang tidak terkendali, sehingga menimbulkan gangguan fungsi lindung baik di kawasan itu sendiri maupun kawasan di bawahnya. Apa yang dapat dilakukan untuk dapat mempertahankan fungsi KBU sebagai kawasan konservasi air?
Penanganan limpasan air hujan yang tidak tepat dapat mengakibatkan timbulnya genangan/banjir dan permasalahan baru, terutama di daerah hilir saluran. Sebagai contoh dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/PRT/M/2014 ditentukan untuk perencanaan saluran drainase di perkotaan dengan luas kurang dari sepuluh (10) ha diharuskan menggunakan periode ulang hujan (PUH) dua tahun.
Kelemahan peraturan PU tersebut adalah dalam hal penetapan periode ulang hujan. Karena hujan mempunyai sifat yang acak yang besarannya tidak menentu dalam ruang dan waktu (Arwin, 2009), maka bila terjadi hujan di area perkotaan dengan luas yang kecil [< sepuluh (10) ha] dengan periode ulang lebih dari dua (2) tahun [lima (5), sepuluh (10), atau 20 tahun], maka permukiman tersebut akan mengalami banjir, sehingga fungsi saluran drainase yang dibuat tidak berkelanjutan. Meskipun resiko yang ditimbulkan oleh genangan/banjir itu kecil, tetapi tetap saja genangan/banjir tersebut mengganggu aktivitas masyarakat perkotaan. Selain itu bila perencanaan saluran drainase tidak didasarkan pada perencanaan tutupan lahan di masa yang akan datang, maka perubahan tutupan lahan di luar perencanaan tata ruang akan menimbulkan limpasan air hujan yang menjadi beban bagi saluran drainase yang telah direncanakan sebelumnya. Pertanyaannya adalah apa yang dapat dilakukan untuk menutupi kelemahan tersebut dan mempertahankan fungsi infrastruktur drainase yang telah direncanakan sebelumnya?
Suatu penelitian diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab degradasi fungsikawasan konservasi dan fungsi infrastruktur drainase serta menemukan strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah infrastruktur drainase permukiman/perkotaan DAS Cikapundung dengan memanfaatkan drainase berwawasan lingkungan, agar fungsi kawasan konservasi dan infrastruktur drainase dapat dipertahankan seperti kondisi semula.
Tujuan Penelitian
Air hujan merupakan sumber air utama yang harus dikelola dengan baik, mengingat limpasannya dapat memberi manfaat sekaligus menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti pengembangan pengendalian limpasan air permukaan (drainase) di kawasan pemukiman/ perkotaan (studi kasus DAS Cikapundung Hulu – KBU Cekungan Bandung).
Metodologi Penelitian
Pada dasarnya penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan-permasalahan teknis maupun non teknis yang mengakibatkan terjadinya fenomena banjir dan genangan yang dilanjutkan dengan rekomendasi pengendalian limpasan air hujan untuk mempertahankan fungsi infrastruktur drainase yang diperlukan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dalam disertasi dilakukan analisis-analisis yang diperlukan. Analisis-analisis tersebut kemudian disusun menjadi suatu urutan metodologi penelitian.
Kajian perubahan rezim hidrologi dilakukan terhadap parameter hujan dan debit sebagai komponen utama siklus hidrologi. Untuk parameter hujan dilakukan pelengkapan data, pengujian data, analisis frekuensi hujan, dan analisis intensitas hujan. Untuk parameter debit dilakukan analisis distribusi frekuensi debit maksimum dan analisis perubahan debit banjir rencana pada beberapa periode ulang tertentu. Selanjutnya dilakukan analisis kecenderungan perubahan hujan dan debit ekstrim (dalam hal ini hujan dan debit maksimum) di setiap stasiun pengamatan menggunakan analisis moving average 5 tahun.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan ini dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu :
- Hasil analisis terhadap catatan hujan di stasiun hujan Cekungan Lembang -DAS Cikapundung Hulu (Stasiun Lembang, Cikapundung dan Margahayu) mempunyai kecenderungan menurun.
- Konversi lahan dari hutan menjadi area terbangun telah terjadi di DAS Cikapundung Hulu, dengan berkurangnya area hutan dari 35% (tahun 2001) menjadi 28% (tahun 2012), sedangkan area terbangun meningkat dari 4% (tahun 2001) menjadi 42% (tahun 2012). Hal ini menyebabkan meningkatnya nilai koefisien limpasan C (dari 0,4789 tahun 2001 menjadi 0,5181 tahun 2012) dan menurunnya indeks konservasi IK (dari 0,5253 tahun 2001 menjadi 0,4817 tahun 2012), sehingga debit limpasan air hujan yang masuk ke infrastruktur drainase (saluran/sungai) di DAS Cikapundung Hulu semakin lama semakin meningkat, seperti yang tercatat di Stasiun Debit Maribaya.
- Debit maksimum cenderung meningkat dari tahun ke tahun (1981 – 2012) di bidang batas hulu (Maribaya) dan batas hilir (Dayeuhkolot) yang disebabkan oleh konversi lahan (peningkatan koefisien limpasan dari 2001 sampai 2012), sehingga meningkatkan muka air Sungai Cikapundung yang menyebabkan limpasan air hujan dari sistem drainase perkotaan tidak dapat membuang ke Sungai Cikapundung dan menimbulkan genangan/banjir di pertemuan saluran.
- Debit banjir rencana untuk perencanaan infrastruktur drainase DAS Cikapundung dalam beberapa periode perencanaan juga cenderung meningkat (debit banjir rencana periode 1981 – 1996 meningkat pada periode 1981- 2012) karena naiknya debit maksimum yang tercatat di Stasiun Debit Maribaya (tahun 1981 – 2012) dan konversi lahan hutan menjadi area terbangun yang terjadi (tahun 1997 – 2012). Infrastruktur drainase yang telah dibuat menggunakan periode perencanaan awal (tahun 1981 – 1996) mengalami degradasi fungsi karena infrastruktur drainase tersebut tidak mampu menangani debit limpasan pada periode perencanaan terakhir (1981 – 2012), sehingga saluran/sungai tersebut harus dikoreksi (normalisasi saluran/sungai).
- Penerapan pengendalian limpasan air hujan di kawasan perkotaan dalam Permen PU Nomor 12/PRT/M/2014 terkait penggunaan PUH berdasarkan kategori kota dan luas area tangkapan dalam perencanaan sistem drainase perkotaan terbukti belum dapat mengatasi genangan/banjir bila terjadi hujan dengan PUH yang lebih tinggi dari PUH perencanaan.
- Permasalahan kebijakan lain adalah dalam hal penerapan kebijakan yang dinilai masih terjadi pelanggaran kebijakan dan kurangnya penegakan hukum.
- Untuk dapat mempertahankan fungsi KBU sebagai kawasan konservasi air, diperlukan penanganan permasalahan baik secara teknis maupun non teknis.
- Penanganan permasalahan secara teknis dapat dilakukan dengan strategi penerapan drainase berwawasan lingkungan (konsep zero limpasan) melalui skenario: perencanaan artificial recharge menggunakan periode ulang hujan (PUH) sama dengan badan air penerima (20 – 50 tahun), penerapan artificial recharge untuk mempertahankan fungsi infrastruktur drainase yang telah dibuat, atau perencanaan artificial recharge untuk mengembalikan debit limpasan lahan terbangun ke kondisi awal lahan sebelum terbangun, sehingga limpasan air hujan tidak membebani sistem drainase makro dan fungsi utilitas infrastruktur drainase permukiman/perkotaan akan berkelanjutan sesuai debit banjir rencananya semula.
- Simulasi penerapan drainase berwawasan lingkungan yang telah dilakukan menggunakan Metode Sunjoto pada contoh persil rumah dan Perumahan Taman Ciputri Indah Blok e di DAS Cikapundung Hulu – KBU sebagai berikut :
Pada contoh persil rumah dapat diterapkan dua (2) sumur resapan [kedalaman sepuluh (10) dan 15 m] skala individu.
Pada contoh perumahan dapat diterapkan sumur resapan skala individu saja dengan diameter 1,8 m kedalaman 3,0 m di setiap persil rumah yang ada.
Pada contoh perumahan dapat diterapkan kolam resapan skala komunal saja dengan luas 10 x 7 m berkedalaman 6,0 m.
Pada contoh perumahan dapat diterapkan kombinasi antara sumur resapan skala individu berdiameter 0,8 m kedalaman 1,5 m di setiap persil rumah dengan kolam resapan skala komunal seluas 4 x 4 m kedalaman dua (2) m.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa terbukti penerapan bangunan resapan skala individu maupun komunal dapat menangani limpasan air hujan sampai PUH 20 tahun dan tidak menimbulkan limpasan yang akan membebani drainase makro.
- Dari simulasi yang dilakuan, beberapa hal yang menjadi perhatian :
Sumur resapan dapat menangani fluktuasi intensitas curah hujan ekstrim, dan selama volume limpasan air hujan yang masuk ke dalam sumur resapan sama atau kurang dari volume infiltrasi dalam waktu tertentu, maka tidak akan ada limpasan air hujan yang keluar dari sumur resapan (zero limpasan).
Setiap jenis dan unit sumur resapan maupun luasan kolam resapan memiliki kemampuan maksimum dalam menangani limpasan air hujan yang jatuh di suatu catchment area (baik atap maupun lahan permukiman dengan KDB tertentu) sesuai dengan curah hujan dan permeabilitas tanah di area tersebut.
- Didasarkan pada hasil simulasi tersebut, penerapan konsep zero limpasan secara umum di suatu luasan area tangkapan air hujan di daerah lain dapat dilakukan dengan menentukan jumlah dan jenis sumur resapan maupun luas kolam resapan yang diperlukan dengan membagi luas area tangkapan air hujan tersebut dengan luas catchment area maksimum (baik atap maupun lahan permukiman dengan KDB tertentu) yang dapat ditangani oleh setiap jenis sumur resapan atau setiap meter persegi kolam resapan dengan kedalaman tertentu yang diperoleh dengan memasukkan data intensitas hujan dan permeabilitas tanah di area tersebut ke dalam grafik pada Gambar 29 untuk skala individu, dan Gambar 30 untuk skala komunal.
- Penanganan permasalahan limpasan air hujan secara teknis tersebut dapat dilakukan dengan mengendalikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi debit limpasan dan waktu konsentrasi pengaliran seperti jenis tutupan lahan, rasio lahan terbangun (KDB/BCR), curah hujan, kemiringan lahan, geologi dan jenis tanah, dan metode penanganan limpasan.
- Untuk mengatasi permasalahan non teknis terkait kebijakan dan penegakan hukum yang lemah, maka diperlukan re-skenario kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang berdasarkan pengendalian limpasan air hujan yang berwawasan lingkungan di DAS Cikapudung Hulu – KBU melalui beberapa pilihan kebijakan aspek teknologi, ekonomi, sosial, dan institusional dalam skala nasional, provinsi, kabupaten/kota, maupun komunitas/masyarakat.
Saran
Dalam rangka pengembangan pengendalian limpasan air permukaan area permukiman perkotaan di kawasan konservasi DAS Cikapundung Hulu – KBU diperlukan penelitian lanjutan seperti :
- Kajian yang mendalam tentang daya tampung dan dukung hidrologi kawasan konservasi seperti KBU untuk dibangun permukiman dan pariwisata.
- Kajian terhadap kestabilan tanah seandainya pengendalian limpasan air hujan di permukiman KBU dilakukan dengan menggunakan sumur resapan skala individu maupun kolam resapan skala komunal.
- Kajian indeks konservasi dengan pendetailan terhadap parameter tutupan lahanpermukiman menjadi tipe permukiman yang sesuai koefisien limpasannya.
- Aspek ekonomi, sosial, institusional dan teknologi rekayasa sebagai faktor yang berkontribusi dalam konservasi air di KBU perlu dikaji lebih dalam keterkaitannya satu sama lain dengan program dinamis. Sedangkan saran yang dapat diberikan untuk pengendalian limpasan air hujan di KBU adalah:
- Pemerintah mewajibkan setiap masyarakat yang tinggal di KBU untuk penerapan bangunan resapan (Artificial Recharge) di setiap hunian maupun permukiman dengan menggunakan debit banjir rencana berdasarkan Periode Ulang Hujan 20 – 50 tahun, nilai KDB/BCR, dan luas lahan/atap maksimum untuk setiap bangunan resapan.
- Pemerintah memberikan insentif berupa pengurangan tagihan PBB bagi masyarakat di KBU yang telah menerapkan drainase berwawasan lingkungan/artificial recharge, serta memberikan denda bagi yang belum menerapkannya.
- Pemerintah memberikan sosialisasi, penyuluhan, pelatihan, pendampingan dan pengawasan bagi setiap stakeholder terkait penerapan drainase berwawasan lingkungan di lingkungannya masing-masing.
- Bagi para pengelola pariwisata maupun pengelola bidang lain yang berorientasi pada konservasi lingkungan, khususnya konservasi air tanah, pemerintah memberi insentif berupa kemudahan dalam mendapatkan izin dan keringanan pajak, sedangkan untuk pengelola pariwisata atau bidang lain yang tidak menerapkan drainase berwawasan lingkungan diberi disinsentif berupa pencabutan izin, denda, maupun pembongkaran terhadap bangunan.
- Pemerintah mewajibkan setiap perumahan dan permukiman menerapkan drainase berwawasan lingkungan di lingkungan sekitarnya dengan prinsip menahan air hujan selama mungkin di lahan sebelum masuk ke dalam saluran, seperti roof garden, vertikal garden, kolam retensi, dan lain-lain.***