BANDUNG, unpas.ac.id – Bagi masyarakat Jawa Barat, jajanan berbahan dasar aci seperti cilok, cimol, cireng, cilung, cimin, tentu sudah tidak asing lagi.
Camilan serba aci selalu jadi primadona jajanan kaki lima di tanah Sunda. Selain harganya yang terjangkau, jajanan bertekstur kenyal ini juga memiliki cita rasa unik dan jenisnya variatif.
Tepung aci diambil dari sari pati singkong. Di beberapa daerah, tepung aci juga biasa disebut tepung tapioka atau tepung kanji. Sekilas, teksturnya mirip dengan tepung sagu; lembut, kering, kesat, dan lengket jika dicampur air.
Lantas, muncul pertanyaan, dari sekian banyak jajanan Sunda, kenapa tepung aci paling sering dijadikan bahan utama?
Menurut Budayawan Sunda sekaligus Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Seni dan Sastra (FISS) Universitas Pasundan Budi Setiawan GP, S.S. (Budi Dalton), pengaruh iklim dan kesuburan tanah membuat komoditas singkong sangat melimpah di Jabar.
“Singkong (sampeu, bahasa Sunda) dan olahannya, khususnya aci, lantas jadi sebuah warisan dan semakin dikenal. Di beberapa wilayah adat Jabar, aci juga selalu hadir, diceritakan turun-temurun di dalam rumpaka, lagu kaulinan budak, dan sebagainya,” ujarnya, dikutip dari UnpasPedia ‘Urang Sunda dan Jajanan Aci’, Selasa (8/8/2023).
Melimpahnya kuantitas dan produksi singkong kemudian memicu kreativitas masyarakat untuk mengolahnya menjadi beragam sajian. Budi menuturkan, sejak era nenek moyang, ungkapan rasa syukur yang kerap disimbolkan dengan sesajen bahkan menyertakan olahan singkong/aci sebagai bahan dasarnya.
Penamaan yang Unik
Kreativitas masyarakat tidak sebatas pada variasi jajanan aci, tapi juga dari segi penamaan. Jajanan aci banyak menggunakan akronim dan dinamai sesuai cara pembuatan, penyajian, atau cara menikmatinya.
Misalnya cimol atau aci digemol (dibentuk bulat-bulat), cilok atau aci dicolok (ditusuk), cibay atau aci ngambay (adonan aci dibalut kulit lumpia dengan tekstur mulur berjuntai), cireng atau aci digoreng, dan lain-lain.
“Dinamakan cilok karena cara makannya dicolok, bisa saja suatu saat namanya berubah sesuai perilaku kita terhadap cilok tadi. Contohnya, cilok dicowel jadi ciwel. Jadi kembali lagi ke kreativitas masyarakat. Tapi yang penting, bahasa Sunda bisa tersosialisasikan di berbagai daerah lewat kuliner,” tuturnya.
Budi menyebut, tidak ada aturan khusus terkait tata nama kuliner Sunda, terutama jajanan aci. Namun, ia menilai uniknya penamaan jajanan aci mesti dilestarikan dan patut dijadikan warisan budaya bangsa.
“Yang harus dipikirkan bukan penamaannya, tapi bagaimana aci bisa berkembang dan disosialisasikan dalam bentuk lain,” sebutnya.
Menjamurnya jajanan aci mendorong kreativitas lain, yakni festival Bandung Lautan Aci yang pernah diadakan pada akhir 2022 lalu.
“Ini menunjukkan bahwa kreativitas masyarakat sangat tak terbatas. Bandung Lautan Aci yang mungkin diambil dari julukan Bandung Lautan Api sekilas terdengar seperti anekdot, tapi memang begitulah faktanya,” pungkasnya. (Reta)**