BANDUNG, unpas.ac.id – Di era digitalisasi, media sosial semakin digandrungi masyarakat. Bahkan, budaya kritis yang biasanya disampaikan secara konvensional, kini beralih ke media sosial.
Hak berpendapat warga negara secara resmi telah diatur dalam konstitusi UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Ekspresi kebebasan berpendapat harus dilakukan secara proporsional agar tidak mencederai hak asasi orang lain.
Hal tersebut disampaikan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Dr. Anthon F. Susanto, SH., M.Hum. Ia mengatakan, dalam kehidupan sosial, individu hidup secara berdampingan, sehingga kebebasan berpendapatnya dibatasi oleh kebebasan individu lain.
“Agar tidak berbenturan dan berujung pada konflik, setiap individu harus menghormati pranata sosial. Ketika menyampaikan pendapat, ada norma kesusilaan, etika, agama, dan hukum yang berlaku dan mesti ditaati,” jelasnya, Rabu (9/6/2021).
Namun, setelah terbitnya UU Nomor 11/2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), masyarakat merasa tidak lagi bebas mengutarakan pendapat, khususnya di media sosial. UU ITE dianggap membatasi nalar kritis masyarakat, terutama dalam mengkritik kebijakan pemerintah.
“UU ITE mengatur cara orang menyampaikan pendapat atau mengekspresikan gagasannya. Menurut saya, sepanjang ungkapan kebebasan itu tidak menyinggung norma sosial, maka hukum tidak akan terlalu bergerak,” katanya.
UU ITE memang cukup memberi batasan yang tegas dan ketat, sehingga alangkah baiknya sebelum menyampaikan pendapat di media sosial, perlu dicek kembali agar tidak menimbulkan hal-hal negatif.
“Ungkapan seperti apa yang bisa menimbulkan perpecahan atau huru-hara? Misalnya, sentimen keagamaan, norma sosial, agama, kesukuan, ras, atau bisa jadi mengganggu kepentingan penguasa. Dalam ranah ini tentu ada kepentingan politik dan hukum, bahkan masyarakat lain,” tambahnya.
Seseorang tidak bisa mengklaim ekspresi yang ia sampaikan netral, clear, atau tidak merugikan siapapun. Sebab, tidak ada ukuran netral di masyarakat. Bisa saja dianggap clear, tetapi belum tentu demikian bagi orang lain.
Oleh karena itu, Anthon menyarankan tiga langkah sebelum mengekspresikan pendapatdi media sosial. Pertama, konfirmasi sebanyak-banyaknya tentang informasi yang akan disampaikan. Kedua, hindari hoax dan kabar simpang siur. Ketiga, menghindari persoalan agama, suku, ras, kedaerahan, atau hal lain yang berpotensi menimbulkan konflik.
“Batasannya hanya tiga itu sebetulnya. Kalau masih menjadi persoalan, kita kan punya hak bela, hak keberatan, dan hak memberi penjelasan, apalagi dilindungi hukum. Yang paling penting jangan takut, tapi tetap berhati-hati, karena kehati-hatian menunjukkan itikad baik kita,” tutupnya. (Reta Amaliyah S)*