BANDUNG, unpas.ac.id – Kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan beberapa waktu lalu meningkatkan kewaspadaan China terkait dukungan AS kepada Taiwan yang diklaim sebagai bagian dari wilayahnya.
China mengecam keras kunjungan Nancy Pelosi dan memulai empat hari latihan militer pada enam zona di sekitar Taiwan. China menunjukkan rasa marahnya dengan melakukan sejumlah aktivitas militer di dekat perairan Taiwan hingga memblokade ruang udara dan laut Taiwan.
Menanggapi hal ini, Dosen Hubungan Internasional sekaligus Wakil Dekan I FISIP Universitas Pasundan Dr. Kunkunrat, M.Si. menilai, salah satu misi lawatan ini menyusul kekhawatiran AS terhadap kemungkinan bersatunya kekuatan Rusia dan China untuk mengambil alih dominasi barat.
Perang Rusia dan Ukraina berdampak besar bagi situasi politik internasional, khususnya dominasi barat. Invasi Rusia ke Ukraina disebut-sebut bakal menggeser dominasi barat ketika China berstatus sebagai negara adidaya di samping Rusia dan AS.
“Taiwan di-protect oleh AS sebagai satelit untuk mengontrol China. Ketika Taiwan dianggap equal atau setara dengan negara lain, tentu China marah, karena China selalu mengatakan dalam diplomasinya bahwa Taiwan adalah bagian dari wilayahnya,” tuturnya, Jumat (5/8/2022) di podcast Unpas Talk.
Menurutnya, kekuatan China di perekonomian global sangat kuat. Ekonomi China diprediksi mampu menyalip AS dalam satu dekade ke depan. Jika kekuatan China dan Rusia bersatu, dikhawatirkan keduanya menjadi saingan AS.
“AS sekarang domestic support-nya agak kurang, dolar makin melemah. China memang ada pelambatan ekonomi, tapi pertemanan China dengan Rusia berpotensi luar biasa, untuk itu AS mencoba mengganggu Taiwan. Menurut saya, ini bisa jadi perubahan geopolitik terbesar,” sambungnya.
Posisi Indonesia dalam potensi perang China-Taiwan
Perseteruan China dan AS merupakan persoalan klasik karena kedua negara sejak lama saling berupaya untuk menjadi nomor satu. Mengingat China merupakan mitra dagang utama Indonesia, bagaimana sebaiknya posisi Indonesia dalam menyikapi konflik klasik tersebut?
Dr. Kunkunrat menyebut, Indonesia bisa berperan netral lantaran diplomasi yang dianut ibarat mendayung di antara dua karang (politik bebas aktif). Sistem ini jauh lebih lugas, tidak pro barat atau timur, sehingga Indonesia bebas menentukan sikapnya terhadap konflik internasional.
“Indonesia dapat menyuarakan solusi guna menurunkan ketegangan antar negara yang berkonflik. Untuk menuju solusi diplomatik harus ada peredaan ketegangan terlebih dahulu, lalu gencatan senjata, dan baru masuk ke meja perundingan,” paparnya.
Ia menekankan, geopolitik dan geoekonomi global sudah seharusnya menjadi perhatian karena bisa jadi pemicu atau konsekuensi. Saat ini dunia memerlukan kearifan dan tanggung jawab para pemimpin negara agar perdamaian dan stabilitas tetap terjaga. (Reta)**