Ketua Umum Paguyuban Pasundan Prof. Dr. HM. Didi Turmudzi, M.Si menjadi Pembina Upacara memperingati hari lahirnya Rd. Dewi Sartika di halaman kantor Paguyuban Pasundan Jl. Sumatera 41 Bandung, Senin 4 Desember 2017.*
“Kita semua lahir dari seorang ibu. Ibu adalah pahlawan, bukan hanya bagi setiap pribadi, melainkan bagi bangsa,” demikian dikatakan Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H.M. Didi Turmudzi, M.Si. pada upacara memperingati lahirnya Rd. Dewi Sartika ke 133, Senin 4 Desember 2017.
Kegiatan yang dilaksanakan di halaman kantor PB Paguyuban Pasundan Jl. Sumatera 41 Bandung tersebut bertemakan “Perempuan Sehat, Perempuan Cerdas sebagai Wujud Cita-cita Rd. Dewi Sartika”. Adapun penyelenggaranya adalah Bidang Pemberdayaan Wanita dan Kesehatan Masyarakat Paguyuban Pasundan. Selain jajaran pengurus, upacara diikuti oleh semua unsur dari unit kegiatan Paguyuban Pasundan, termasuk para mahasiswa dan siswa sekolah Pasundan. Hadir pula Rektor Unpas Prof. Dr. Ir. H. Eddy Jusuf Sp, M.Si., M.Kom selaku Ketua Bidang Pendidikan Tinggi Paguyuban Pasundan, para Wakil Rektor, para Dekan dan para Dosen dan karyawan Unpas, khususnya yang menjadi pengurus PB Paguyuban Pasundan.
Dikatakan lebih lanjut oleh Prof. Didi Turmudzi bahwa dalam ajaran Islam, perempuan menempati tempat terhormat. Cukup banyak ayat pada kitab suci yang menerangkan hal itu. “Demikian pula dalam budaya Sunda, kedudukan perempuan berada pada posisi yang bermartabat. Bahkan kalau kita memperhatikan ajaran Sunda lama, posisi tertinggi di antara para dewa justru ditempati oleh Sunan Ambu. Hal itu menggambarkan penghormatan yang tinggi terhadap perempuan,” katanya.
Dewi Sartika adalah sosok perempuan Sunda yang hidupnya dipersembahkan bagi kemajuan kaumnya. Ia berjuang di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan. Dan kita tahu, sekolah adalah lembaga yang strategis bagi kemajuan bangsa.
Ketua Umum Paguyuban Pasundan kembali mengingatkan agar jasa-jasa Dewi Sartika harus tetap diingat dan dilanjutkan dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang. Secara lebih jauhnya lagi, Prof. Didi Turmudzi mengajak agar kita semua bisa makaya ka indung. “Makaya di sini jangan diartikan memberikan harta berlimpah, melainkan yang lebih penting adalah menghormati ibu, termasuk ibu pertiwi,” ucapnya.
Jajaran Pengurus PB Paguyuban Pasundan yang jadi pelaksana upacara peringatan lahirnya Rd. Dewi Sartika beserta siswa pendukung upacara, di halaman kantor Paguyuban Pasundan Jl. Sumatera 41 Bandung, Senin 4 Desember 2017.*
Sebelum Ketua Umum PB Paguyuban Pasundan selaku pembina upacara menyampaikan amanatnya, terlebih dahulu disampaikan riwayat singkat Dewi Sartika oleh dr. Hj. Alma Lucyati. Meski hanya sekilas, kita bisa jelas menangkap bagaimana jasa Dewi Sartika dalam memperjuangkan kaumnya, pada saat masyarakat kita masih terbelenggu oleh sistem kolonialisme.
Dewi Sartika lahir di Bandung pada 4 Desember 1884, berasal dari kalangan orang kabupaten, yaitu sebutan untuk bangsawan dari keluarga bupati. Kakeknya dari pihak ibu adalah puteri R.A. Wiranatakusumah IV.
Meski berasal dari keluarga bangsawan, namun kehidupan Dewi Sartika sarat dengan penderitaan, karena ayahnya, R. Rangga Somanagara, oleh pemerintah kolonial dibuang ke Ternate, akibat melakukan perbuatan yang berupa penentangan terhadap kepentingan pihak penjajah. Sudah barang tentu, kepahitan hidup yang dialami Dewi Sartika ikut memotivasi lahirnya gagasan mulia tersebut.
Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, pendidikan bagi kaum perempuan dari kalangan bumi putra masih jauh tertinggal. Khususnya di kalangan somah atau rakyat, anak perempuan tidak diberi kesempatan untuk memasuki sekolah, yang pada masa itu sudah mulai dibangun oleh pemerintah kolonial.
Hal tersebut mendorong Dewi Sartika yang masih remaja untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kaumnya yang masih terbelakang. Gagasan untuk memajukan kaum perempuan direalisasikannya melalui dunia pendidikan, yaitu dengan menyelenggarakan sekolah khusus untuk perempuan. Dewi Sartika amat berjasa bagi perkembangan pendidikan dan emansipasi perempuan, bukan hanya di Tatar Sunda, melainkan juga di Indonesia. Sekolah “Kautamaan Istri” yang dirintis Dewi Sartika tidak hanya berada di Bandung, melainkan pada akhirnya banyak didirikan di tempat lain, termasuk di luar wilayah Jawa Barat.
Semasa perang kemerdekaan, Dewi Sartika jelas-jelas memperlihatkan sikapnya sebagai republiken. Ia pergi mengungsi ke Cineam, Tasikmalaya bersama para pejuang lainnya, meninggalkan Bandung yang sudah dikuasai oleh Belanda. Dewi Sartika meninggal di tempat pengungsian, 11 September 1947.
Sejak 1 Desember 1966, Pemerintah RI memutuskan bahwa Dewi Sartika diakui sebagai pahlawan nasional. Dan setiap tanggal 4 Desember selalu diperingati, untuk mengenang jasa-jasanya.***