BANDUNG, unpas.ac.id – Wacana pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) di sektor jasa pendidikan dan bahan pokok ramai diperbincangkan sejak draf revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) beredar pekan lalu.
Pakar Ekonomi Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi menilai, alasan pemerintah mengenakan PPN di dua sektor tersebut untuk meningkatkan pendapatan dan menutup defisit APBN. Sampai saat ini, penerimaan pajak di Indonesia masih terbilang rendah, sementara beban pengeluaran meningkat, terutama untuk pemulihan ekonomi.
“Kalau saya lihat, dihadapkan pada kondisi tersebut, pemerintah berusaha mencari strategi untuk meningkatkan pendapatan. Maka muncul opsi guna menutup defisit dengan mengenakan PPN di sejumlah komoditas,” jelasnya, Selasa (15/6/2021).
Perlu diketahui, pemerintah berencana mengenakan PPN jasa pendidikan dan sembako yang tergolong mahal sebesar 12 persen dan dipandang hanya bisa diakses oleh golongan tertentu atau dianggap mampu.
Menurut Acuviarta, jika wacana tersebut direalisasikan, maka akan membebani masyarakat dan menyumbang angka inflasi. Permintaan terhadap komoditas sembako maupun jasa pendidikan untuk klasifikasi tertentu pun berpotensi turun.
“Kalau sembako direspons dengan kenaikan harga, tentu akan membebani konsumen. Ini juga akan berdampak pada inflasi, karena jasa pendidikan dan sembako adalah komponen yang menyumbang angka inflasi di Indonesia. Apabila dikenakan PPN, otomatis inflasi akan tinggi karena dianggap mendorong kenaikan harga,” paparnya.
Menyinggung sektor pendidikan, jika konsepnya pemerataan, pemerintah berdalih menarik pajak guna mengembangkan pendidikan di seluruh Indonesia. Menurutnya, pola-pola demikian masih harus dikaji lebih dalam.
“Ketika menerima pajak pendidikan, belum tentu dibelanjakan untuk kepentingan pendidikan, bisa jadi digunakan di sektor lain. Lalu sekolah swasta, internasional, dan sebagainya sebetulnya membantu pengembangan SDM yang tidak bisa sepenuhnya disediakan pemerintah,” imbuhnya.
Ia melanjutkan, untuk menunjang pengembangan SDM, perlu dana dan anggaran yang besar, sehingga ketimbang memberlakukan pajak, pemerintah lebih baik fokus menggulirkan insentif agar tidak mencederai pemulihan ekonomi.
Melihat perkembangan saat ini, ia memperkirakan RUU KUP sulit dilanjutkan, terlebih di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih. Ditambah, pembahasan tersebut tidak masuk dalam program legislasi nasional.
“Saya lihat kemungkinan dilanjutkan masih sangat kecil, apalagi tahun ini. Kalau tahun depan pemerintah ngotot ingin melanjutkan, saya kira pembahasannya akan panjang,” pungkasnya. (Reta)*