BANDUNG, unpas.ac.id – Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Pasundan melakukan upaya nyata untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dengan menggelar seminar bertajuk “Mewaspadai Bahaya Kekerasan Seksual”, Kamis (11/1/2024).
Seminar ini mengundang kurang lebih 40 perwakilan Satgas PPKS dari 19 perguruan tinggi di bawah LLDIKTI Wilayah IV untuk saling bertukar informasi, strategi, dan langkah-langkah konkret dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual.
Berdasarkan data Kementerian PPPA, 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan sepanjang 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,2 persen dari tahun sebelumnya, yaitu 21.753 kasus. Pada 2021, Komnas Perempuan mencatat persentase kasus kekerasan seksual mencapai 76 persen dan menjadi yang tertinggi dibanding bentuk kekerasan lainnya (kekerasan fisik, penelantaran, kekerasan mental, trafficing dan eksploitasi).
Wakil Rektor Bidang Belmawabud Dr. Cartono, M.Pd., M.T. menuturkan, arus globalisasi yang kian deras melunturkan norma, nilai, etika, dan adab di masyarakat, sehingga mengaburkan sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu. Hal itu mendorong masyarakat untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma dan akhirnya memunculkan kasus-kasus seperti kekerasan seksual.
“Apalagi beberapa kota tengah mencanangkan diri sebagai destinasi wisata dunia yang menuntut adanya akulturasi budaya. Meski di satu sisi mendatangkan devisa bagi negara, tapi lambat laun tentu akan menggerus nilai-nilai moral dan agama. Maka, celah untuk berbuat kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan pun semakin terbuka,” katanya.
Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Tak hanya itu, perguruan tinggi juga berpotensi menjadi sarang kekerasan seksual. “Penting bagi civitas akademika untuk berperan sebagai garda terdepan dalam mempertahankan nilai agama dan budaya untuk menjaga moralitas di tengah fenomena tersebut,” ujarnya.
Ketua Satgas PPKS Unpas Dr. Hj. Mulyaningrum, S.E., M.Hum. mengungkap, di rentang 2015-2021, kasus kekerasan seksual paling banyak terjadi di perguruan tinggi yang umumnya dilatarbelakangi oleh relasi kuasa dan ketimpangan gender.
“Relasi kuasa misalnya antara atasan dan bawahan, dosen dan mahasiswa, dosen/tendik senior dan junior, serta mahasiswa senior dan junior. Modusnya biasanya berupa pelecehan virtual, menyentuh anggota tubuh, meminta foto atau rekaman tidak senonoh, bahkan perkosaan. Sementara ketimpangan gender dipengaruhi patriarki, yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dan memiliki kuasa lebih besar dari perempuan,” tuturnya.
Dampak Psikologis
Dampak psikologis yang disebabkan kekerasan seksual bisa sangat banyak. Sekretaris Satgas PPKS Unpas dr. Anna Amaliana, Sp.Kj. menyebut, korban dapat mengalami trauma psikologis (stres pasca trauma atau Post Traumatic Stress Disorder/PTSD), depresi, gangguan kecemasan ketika melihat situasi atau objek tertentu, gangguan makan, gangguan kepribadian, isolasi sosial akibat rasa malu, stigmatisasi, dan ketakutan terhadap interaksi interpersonal, trust issue, hingga pengaruh pada prestasi akademik.
“Melihat implikasi yang begitu besar pada kesejahteraan dan kehidupan korban, kita perlu memahami dampak-dampak tersebut dengan memberikan perlindungan dan dukungan kepada korban, mendampingi pengobatan dan pemulihan, merancang program pencegahan yang lebih efektif, mendukung advokasi dan perubahan kebijakan, menghindari penghakiman, mengurangi stigma dan diskriminasi, dan meningkatkan kesadaran masyarakat,” tegas dr. Anna.
Tinjauan Hukum tentang Kekerasan Seksual
Ketua Divisi Legal Satgas PPKS Unpas Maman Budiman, S.H., M.H. mengatakan, aturan hukum tentang kekerasan seksual sudah tertuang dalam KUHPidana, UU Nomor 12/2012 tentang Kekerasan Seksual, dan Permendikbudristek Nomor 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi.
UU TPKS berperan menutup celah KUHPidana, karena dalam tuntutan masyarakat, pemerintah diminta untuk tidak hanya menghukum pelaku, tapi juga memberikan jaminan perlindungan bagi korban. Sebab, meski pelaku dipidanakan, belum tentu gangguan psikologis yang diderita korban akan hilang. KUHP seakan-akan hanya memperhatikan konsekuensi hukum dari pelaku, namun tidak kepada korban.
“Pembentukan UU TPKS berperan sebagai instrumen hukum yang mampu mengakomodasi hak-hak korban kekerasan seksual, karena sifatnya lebih khusus. UU TPKS memuat bentuk-bentuk kekerasan seksual sampai jaminan/hak perlindungan korban. Sedangkan KUHP hanya mengatur secara umum terkait pemidanaan kasus kekerasan seksual,” tutupnya. (Reta)**