[dropcap]U[/dropcap]niversitas Pasundan menambah lagi dosen yang bergelar doktor dalam waktu satu pekan. Mereka adalah Drs. Abu Huraerah, M.Si dan Ririn Dwi Agustin. Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP Unpas, Drs. Abu Huraerah, M.Si meraih gelar doktor pada sidang terbuka promosi doktor yang dilaksanakan di FISIP Universitas Indonesia, Depok, Kamis 14 Januari 2016. Sedangkan Ketua Program Studi Teknik Informatika, Ririn Dwi Agustin, ST., MT dosen pada program studi Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung, meraih gelar doktor pada sidang terbuka Sekolah Pascasarjana Institut Teknologi Bandung, Kamis 21 Januari 2016.
Abu Huraerah
Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP Unpas, Drs. Abu Huraerah, M.Si meraih gelar doktor pada sidang terbuka promosi doktor yang dilaksanakan di FISIP Universitas Indonesia, Depok, Kamis 14 Januari 2016. Abu berhasil mempertahann disertasinya berjudul “Kebijakan Per lindungan Sosial bagi Masyarakat Miskin, Analisis Perspektif Dynamic Governance dalam Kebijakan Pengembangan Perlindungan Sosial Bidang Kesehatan bagi Masyarakat Miskin di Kota Bandung”.
Menurut Abu Huraerah, Indonesia telah mencatat sejarah baru dalam SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), yaitu dengan telah beroperasinya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014, yang secara bertahap melaksanakan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk mencapai cakupan kesehatan semesta (Universal Health Coverage) pada tahun 2019.
Pembentukan Undang-undang tentang BPJS ini merupakan pelaksanaan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005, guna memberikan kepastian hukum bagi pembentukan BPJS untuk melaksanakan program Jaminan Sosial di seluruh Indonesia.
Perlindungan sosial merupakan elemen penting dalam strategi kebijakan sosial untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Salah satu bentuk perlindungan sosial adalah jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, yang pembiayaannya ditanggung oleh Pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD. Hal ini membuktikan suatu responsibilitas dan akuntabilitas Pemerintah dalam bidang jaminan kesehatan.
Pemerintah Daerah melalui kebijakan otonomi daerah memiliki peran dan tanggungjawab melaksanakan kebijakan tersebut. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah perlu melakukan percepatan persiapan pelaksanaan jaminan kesehatan, khususnya berkaitan dengan aspek kepesertaan, pelayanan, dan pembiayaan. JKN di Kota Bandung telah berunifikasi dari Jamkesda (Bawaku Sehat/Bantuan Walikota untuk Kesehatan) ke JKN. Ini adalah sebagai konsekuensi Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kebijakan perlindungan sosial dalam menanggulangi masyarakat miskin.
T erkait dengan persiapan pelaksanaan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin masih ditemui beberapa hal sebagai berikut: (1) kualitas layanan kesehatan masih rendah, seperti: lamanya waktu tunggu layanan kesehatan dan ketidakpastian waktu pemeriksaan kesehatan (2) masih terbatasnya akses orang-orang miskin dan tidak mampu terhadap pemenuhan hak jaminan kesehatan. Hal ini terjadi karena data kepesertaan masyarakat miskin yang tidak valid, (3) masih terdapat diskriminasi layanan kesehatan antara pasien umum dengan pasien BPJS Kesehatan, dalam mekanisme pendaftaran berobat jalan, (4) ketersediaan dan kualitas fasilitas kesehatan yang kurang memadai, (5) belum terpenuhinya jumlah, jenis, kualitas, dan penyebaran tenaga kesehatan di tingkat layanan kesehatan primer, dan (6) belum maksimalnya sosialisasi JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) di tingkat bawah (grass root) menyebabkan masyarakat penerima manfaat, khususnya masyarakat miskin peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) kurang memahami manfaat program JKN.
Dalam disertasinya, Abu Huraerah menyimpulkan :
- Kinerja aparat dalam penerapan jaminan kesehatan diwarnai kultur: (1) pragmatis, (2) birokratis, (3) rigiditas, (4) non-partisipatif, dan (5) short-term orientation.
- Penerapan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin diwarnai sikap normatif dan imperatif. Sikap normatif aparat ini adalah sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai acuan dalam mentransformasikan program jaminan kesehatan. Sementara, sikap imperatif adalah sikap instruktif aparat dalam memerintah dan mengarahkan pelaksanaan program jaminan kesehatan.
- Aparat memiliki orientasi able people, yakni memiliki komitmen terhadap pelayanan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dan juga memiliki agile processes, seperti dalam hal transparansi rekrutmen pegawai dan mapping fasilitas kesehatan. Sementara, thinking again ditunjukkan oleh pemahaman aparat pada masalah dan metode pemecahannya, serta pemetaan sistem rujukan. Sedangkan, thinking across ditandai dengan adanya koordinasi penanggulangan kemiskinan, proses transformasi kelembagaan dan program, serta terdapat inovasi pelayanan kesehatan. Namun, terdapat juga unable people, yakni sebagian masyarakat miskin yang belum mendapatkan akses terhadap kepesertaan PBI dan kecenderungan PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) yang mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan yang sakit saja. Selain itu, non agile processes juga nampak pada mekanisme pengajuan kepesertaan PBI berubah-ubah, sehingga masyarakat miskin dan tidak mampu mengalami kesulitan untuk memperoleh kepesertaan PBI.
- Kebijakan adaptif (adaptive policies) Pemerintah Kota Bandung dalam konteks persiapan jaminan kesehatan diwujudkan dalam bentuk: (1) kesiapan anggaran, (2) kesiapan data kepesertaan, (3) kesiapan birokrasi, (4) kesiapan SDM kesiapan, dan (5) kesiapan fasilitas kesehatan.
- Terdapat respon pasien yang beragam dalam penerapan jaminan kesehatan. Mereka mengakui dan merasakan bahwa program jaminan kesehatan bermanfaat. Namun, kualitas pelayanan kesehatan masih belum memenuhi harapan mereka. Oleh karena itu, kualitas pelayanan kesehatan perlu ditingkatkan.
- Secara prosedural, masyarakat miskin dan tidak mampu masih banyak yang belum terdata, sehingga mereka belum memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan. Secara sosial, masih terdapat masyarakat miskin tidak mendapatkan hak atas jaminan kesehatan, sementara masyarakat yang tergolong tidak miskin (mampu) bisa mendapatkan hak atas jaminan kesehatan. Secara politik, terdapat upaya memberikan akses bagi orang-orang yang dekat dengan elit kekuasaan di tingkat grass root untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Abu Huraerah juga menyampaikan beberapa rekomendasi yang perlu menjadi perhatian adalah sebagai berikut:
- Pemerintah Kota Bandung perlu mengubah pola pikir (mind set), sikap, dan perilaku birokrasi yang dapat menghambat percepatan persiapan pelaksanaan jaminan kesehatan, dengan transformasi budaya birokrasi melalui pembinaan dan pembelajaran.
- Pemerintah Kota Bandung dan BPJS Kesehatan Kota Bandung perlu membangun able people berkaitan dengan perbaikan rekrutmen dan pola karier pegawai dalam memenuhi dan meningkatkan kualitas SDM. Sementara, untuk membangun agile processes, selain SDM yang capable, juga perubahan tata laksana administrasi Pemerintah Daerah, pemanfaatan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) untuk mempermudah dan mempercepat pelayanan kesehatan.
- Pemerintah Kota Bandung hendaknya dapat membangun data base kepesertaan PBI dengan menggunakan metodologi mapping yang tepat. Apabila data kemiskinan yang berbasis pada kriteria spesifik daerah dapat diperoleh, maka strategi dan upaya-upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan menjadi jelas. Oleh karena itu, basis data kemiskinan adalah hal yang penting untuk disusun secara lengkap dan akurat, yang dapat dijadikan acuan dasar kebijakan sosial bagi masyarakat miskin.
- Pemerintah Kota Bandung perlu mengembangkan inovasi pelayanan kesehatan dengan aksi cepat dan mudah serta mengaplikasikan ide kreatif. Mengenai hal tersebut, perlu penerapan metode untuk membangun sistem inovasi pelayanan kesehatan. Selain metode, inovasi pelayanan kesehatan juga berkaitan dengan bentuk, pesan, pengirim pesan, waktu, dan tempat.
- Pemerintah Kota Bandung, BPJS Kesehatan Kota Bandung, Perguruan Tinggi, dan masyarakat seharusnya secara bersama-sama ikut terlibat dalam melakukan sosialisasi JKN yang berkesinambungan kepada masyarakat di tingkat bawah (grass root). Sosialisasi JKN bukan hanya menyangkut mekanisme pendaftaran saja yang selama ini dilakukan, tetapi yang lebih penting adalah untuk mengubah perilaku sehat. Masyarakat perlu memahami dan menyadari akan pentingnya kesehatan, yang pada gilirannya bisa membentuk budaya sehat. Dengan telah terbentuknya budaya sehat akan mengurangi risiko penyakit yang mungkin timbul.
Ririn Dwi Agustin
Ririn Dwi Agustin, dosen pada program studi Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung, meraih gelar doktor pada sidang terbuka Sekolah Pascasarjana Institut Teknologi Bandung, Kamis 21 Januari 2016. Ririn, yang ketika sidang terbuka ini masih menjabat sebagai Ketua Program Studi Teknik Informatika, berhasil mempertahankan disertasinya berjudul “Model Arsitektur Serious Game For Learning dengan Komponen-Game Adaptif sebagai Representasi Learning Content”. Ririn adalah doktor ke 39 di Fakultas Teknik Universitas Pasundan.
Menurut Ririn, game adalah seni dan teknik untuk menyajikan pilihan, menerima aksi pemain untuk memilih, mengelola task yang harus dikerjakan pemain berdasarkan pilihannya tersebut, serta menyajikan lingkungan kausalitas pilihan, dari waktu ke waktu dalam rentang permainan sedemikian hingga peman mengalami sensasi kemenangan/enjoyment fun selain mendapatkan pengetahuan/ketrampilan.
Serious game adalah sebutan bagi game yang diorientasikan bukan untuk hiburan melainkan untuk kepentingan yang lebih serius. Di antara penggunaan serious game adalah untuk belajar, sehingga dalam disertasinya Ririn menyebutnya dengan Serious Game for Learning (SGfL).
Pengembangan SGfL untuk sebuah domain materi 4c belajar, saat ini belum sesederhana pembelajaran menggunakan ITS (Intelligent Tutoring System) atau LMS (Learning Manajement System). Panduan teknis dan authoring tools yang mendukung belum ada. Diperkukan tiga kompetensi untuk mengembangkan SGfL yaitu sebagai pemrogram game, sebagai perancang game dan sebagai perancang pembelajaran yang menguasai domain belajar terkait. Jarang sekali ketiga kemampuan tersebut berkumpul pada satu orang.
Sebelum 2001 telah berkembang game untuk pembelajaran yang diberi nama “edugame”. Produk tersebut mengacu pada prinsip ilmiah teori pedagogik dan interaksinya seperti “brokoli berlapis coklat”. Di sisi lain ITS yang sudah banyak terbukti membantu pembelajaran, mulai mendapatkan kritikan bahwa efektivitasnya menurun jika digunakan dalam waktu lebih dari dua minggu. ITS dinilai belum memperhatikan aspek motivasi dan terlalu menuntun (instruktivist). Ririn melakukan penelitian dalam disertasinya, mencoba berkontribusi untuk kedua macam persoalan tersebut.
Dalam kesimpulan disertasinya, Ririn menyatakan bahwa spesifikasi SGfL yang menjawab isu strategis serious game telah berhasil dituangkan ke dalam model arsitektur SGfL yang memiliki 4 modul, dengan penjelasan sbb :
- Perbedaan engine adaptasi game untuk hiburan dengan SGfL ada dua. Pertama, pada SGfL mobul tersebut terdiri dari dua submodul yakni macro-strategi dan micro-strategi. Kedua, masing-masing modul tidak hanya mengelola game state (GS) sebagai aspek gaming namun ditambah dengan learning state (LS) yang merepresentasikan progres belajar.
- Keunggulan engine adaptasi SGfL terhadap model DEG Keicmeier Rust (“elektra”) adalah lebih sederhana karena hanya mengelola dua state sedangkan “elektra” mengelola tiga state. Keberadaan SS (story state) menimbulkan persoalan konflik antara LS dan SS saat sequencing curriculum. Keunggulan kedua, Arsitektur SGfL domain independent karena ada empat macam pilihan representasi materi belajar dan genre independent karena telah dihasilkan klasifikasi model komputasi untuk ragam gaming yang mungkin.
- Berdasarkan pola hubungan GS dan LS akibat ragam pilihan komponen game yang adaptif dan ragam desain game yang dipilih, diidentifikasi ada 3 pola komputasi. Pola yang pertama LS adalah GS itu sendiri sehingga komputasi hanya berpusat di pengelolaan LS. Pola kedua, adalah GS terdiri dari sekumpulan state dengan definisi transisi yang konstan, sehingga diperlukan FSA untuk mengelolanya. Pola ketiga, GS adalah sekumpulan state dengan definisi transisi sesuai domain game mechanic yang beragam sehingga memerlukan FSA dan eksekusi prosedur khusus.
- Konsep desain model arsitektur SGfL berpusat pada challenge based immersion yang diwujudkan ke dalam empat alternatif komponen game. Dengan merepresentasikan konten belajar pada komponen game tersebut maka upaya pemain untuk menaklukkan challenge di dalam game akan menyatu dengan upaya untuk menguasai materi pembelajaran. Disinilah solusi dari fenomena “brokoli berlapis coklat”.
- Model dua loop dari ITS ternyata sesuai dengan teori dasar desain instruksional. Sehingga, pada arsitektur SGfL konsep dua loop tersebut tetap dipakai. Macro-strategy sebagai outer loop dan microstrategy sebagai inner loop. Namun demikian, representasi learning map dan gameplay yang memiliki fitur wajib non linierity membuat game menyediakan banyak pilihan path untuk mengulang membelajarkan kompetensi yang sama. Hal ini membuat pemain tidak terlalu merasa interaksinya adalah pengulangan.
- Model expert yang diterapkan pada engine adaptasi untuk micro-strategy yang mengadopsi model dari Minovic (Minovic, 2014) dibatasi untuk representasi pengalaman belajar berbasis puzzle. Engine adaptasi yang dibangun telah mampu mengkonstruksi pengalaman belajar berupa task pengelompokan kartu dengan mengambil elemen konstruknya dari basis data. Elemen konstruk tersebut diisi oleh perancang pembelajaran. Parameter yang digunakan untuk mengkonstruksikan adalah nomor identitas dari task,
- Framework transformasi desain instruksional non game ke dalam konsep SGfL telah dirumuskan dan diuji coba dengan studi kasus sehingga menghasilkan game design document (gdd) berdasarkan variabel kondisi dari desain instruksionalnya. Perubahan bentuk bahan belajar dari non game ke dalam desain SGfL terjadi pada a). Semua penjelasan materi diubah ke dalam interaksi menantang pemain untuk melakukan sesuatu aksi dan pemberian feedback yang mempercepat pembelajar bisa melakukan aksi dengan benar. Dari aksi tersebut siswa diharapkan mampu menyimpulkan pengetahuan yang ingin dibelajarkan. b) Setiap aksi dikaitkan dengan konteks dan alasan mengapa dia harus dilakukan. Konteks tersebut di dalam game akan berwujud sebagai backstory, story, dan gamework. Thema yang diturunkan menjadi goal dan misi yang upaya realisasinya diatur oleh gameplay memberikan alasan kepada pemain mengapa sebuah aksi harus dilakukan. c) Sesi debriefing atau eksplanasi digunakan untuk mengklarifikasi hasil kesimpulan pengetahuan yang didapat pemain. Interaksi di sesi debriefing cenderung ke model belajar dibanding bermain.
Alur Baru
Berdasarkan model dan hasil penelitian disertasi ini, dihasilkan sejumlah alur baru penelitian lanjutan sebagai berikut :
- Dari empat pembangun model arsitektur SGfL, penelitian pada disertasi ini fokus membahas modul adaption engine. Penelitian lanjutan bisa dilakukan terhadap strategi implementasi modul kendali antarmuka komponen game yang adaptif. Eksperimen terkait hal ini ranah pemograman multimedia.
- Sesuai dengan batasan bahwa penelitian ini menerapkan mekanisme adaptivity direct, dimana jaminan bahwa alur game berada pada flow channal masih diserahkan kepada perancang pembelajaran yang merancang learning map dan memasang challenge di setiap node pada learning map. Idealnya challenge pada node bisa dikonstrusi berdasarkan parameter tertentu sesuai dengan kinerja pemain, sehingga perancang pembelajaran tidak harus mengenumerasi banyak path yang diprediksi bisa membuat game dimainkan dengan menarik.
- Variabel pembentuk player model yang digunakan pada penelitian ini dibatasi pada player skill proviciency. Variabel lain yakni afective state sangat menarik untuk diteliti, terkait kontribusinya untuk mengenali apakah pemain masih berada di flow channel. Penelitian di area ini tidak hanya tentang komputasi namun terkait dengan sensor untuk mengenali status afektif pemain.
- Pada penelitian ini pola permainan SGfL yang diteliti dibatasi hanya untuk game single user. Pemanfaatan MMO game untuk melaksanakan PBM berbasis cooperative learning sangat menarik untuk diteliti. Para ahli pembelajaran telah merancang banyak model pembelajaran kooperatif. Menarik untuk membuat model SGfL berdasarkan model pembelajaran kooperatif tersebut.
- Feedback untuk micro-adaptivity yang diterapkan pada SGfL, dalam penelitian ini masih sebatas immediate feedback yakni respon salah dan benar serta konsistensi atas jawaban benar untuk setiap quest. Konsep delayed feed back dan error specific feedback sebagaimana yang diusulkan Vanheln di dalam pengembangan Intellegent Tutoring System sangat menarik untuk dikaji diterapkan di dalam SGfL.***